Surabaya, Moralita.com – Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur akan memanggil dua perusahaan yang tercatat sebagai pemilik Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektare di kawasan perairan Sidoarjo. Langkah ini diambil menyusul kontroversi yang mencuat terkait legalitas dan dampak lingkungan dari kepemilikan tersebut.
“Dalam waktu dekat, kami akan mengundang perwakilan dari dua perusahaan yang namanya tercantum sebagai pemilik HGB ini,” ungkap Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Jatim, Kombes Pol M. Farman, Rabu (22/1).
HGB di Perairan Desa Segoro Tambak
Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Jawa Timur, HGB seluas 656 hektare tersebut dimiliki oleh dua perusahaan, yakni PT SIP dan PT SC. Lokasi HGB berada di kawasan perairan Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, sekitar tiga kilometer dari permukiman warga.
Rincian kepemilikan menunjukkan PT SIP memiliki dua HGB seluas 285,16 hektare dan 219,31 hektare, sementara PT SC memiliki HGB seluas 152,36 hektare. HGB ini diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku hingga tahun 2026. Namun, area yang diklaim dalam HGB tersebut masih berupa hamparan laut dan hutan mangrove tanpa adanya pagar pembatas.
Penyelidikan oleh Polda Jatim
Polda Jatim telah menerjunkan tim Subdit Harda untuk melakukan penyelidikan langsung ke lokasi. Penyelidikan ini mencakup pengumpulan data serta keterangan dari berbagai pihak, termasuk BPN Kanwil Jawa Timur dan aparat desa setempat.
“Kami sudah menurunkan tim sejak hari pertama berita ini muncul. Saat ini, tim masih bekerja di lapangan untuk mengumpulkan data dan bukti-bukti tambahan,” jelas Kombes Farman.
Selain memanggil perwakilan dua perusahaan pemilik HGB, Polda Jatim juga akan memeriksa pihak desa dan BPN guna memperoleh informasi lebih rinci terkait proses penerbitan HGB yang kini menjadi sorotan publik.
HGB di kawasan perairan ini menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013 yang mengatur pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan, serta bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Kritik juga muncul karena wilayah yang diklaim sebagai lahan HGB tersebut merupakan kawasan ekosistem laut dan mangrove yang seharusnya dilindungi. Kepemilikan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar.
Saat ini, proses penyelidikan masih berlangsung, dan Polda Jatim berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas. “Kami akan memastikan seluruh proses hukum berjalan sesuai prosedur dan transparan,” tutup Kombes Farman.
Discussion about this post