Berani Tabrak Kepmendes 294/2025, Oknum Pendamping Desa Di Mojokerto Terendus Main Konsultan Proyek Berbayar
Oleh Alief — Rabu, 17 September 2025 22:52 WIB; ?>

Wiwit Hariyono pasca konsultasi dengan penyidik Tipidkor Polda Jatim.
Mojokerto, Moralita.com – Sssst… Ini mengejutkan dan belum banyak masyarakat tahu, terendus praktik siasat nakal muncul dari sebagian dapur pemerintahan desa di Kabupaten Mojokerto.
Kali ini, bukan cerita klasik soal jalan rusak atau proyek mangkrak, melainkan dugaan praktik ‘Siasat Nakal’ dari oknum Tenaga Profesional Pendamping (TPP) yang katanya sih jadi mitra desa, tapi malah diduga banting setir jadi konsultan berbayar dan kontraktor proyek fisik desa.
Ya, Ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Mojokerto melalui ketuanya, Wiwit Hariyono, baru saja buka-bukaan soal investigasi panjang yang dilakukan. Hasilnya bikin alis naik dan mata mlongo sekaligus tepok jidat. Ada indikasi kuat sejumlah TPP di Kabupaten Mojokerto main gila dalam proyek fisik desa.
Dari Pendamping Desa Jadi Pemain Proyek
Menurut Wiwit, praktik yang dilakukan oknum TPP ini bukan sekadar nyari receh, tapi sudah level ‘pundi-pundi fantastis’. Bayangkan, TPP yang harusnya netral dan mengarahkan desa ke jalan yang benar, justru nyemplung jadi jasa konsultan berbayar dengan omzet ratusan juta rupiah. Bahkan, dari investigasi Wiwit menunjukkan praktik itu menggurita sampai ke puluhan titik proyek fisik desa.
“Ini bukan lagi pendamping, tapi pemain lapangan penuh. Kalau begini, TPP jadi singkatan baru, Tenaga Pelicin Proyek,” celetuk Wiwit kepada Moralita.com, Rabu (17/9).
Tak berhenti di situ, FKI-1 menemukan pola yang lebih menyeramkan: dugaan monopoli jasa konsultan berbayar. Disebut-sebut, ada sekitar 40 desa yang seolah dipagari hanya boleh pakai jasa konsultan tertentu.
Jadi, desa-desa itu tak punya pilihan selain tunduk pada oknum TPP ini, alih-alih seolah minta balas budi. Padahal, dalam logika sehat, jasa konsultan proyek harusnya terbuka, kompetitif, dan transparan.
Kepmendes Sudah Jelas, Tapi…
Padahal, aturan mainnya sudah terang benderang. Kepmen Desa PDT Nomor 294 Tahun 2025 menyusun larangan detail yang mustahil jika tak diketahui TPP.
Larangannya antara lain:
- Menyalahgunakan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, kelompok, golongan, maupun pihak lain.
- Meminta dan menerima uang yang bersumber dari keuangan negara, barang, dan/atau imbalan atas pekerjaan dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas sebagai TPP.
- Bertindak sebagai pemborong, pemasok, atau perantara perdagangan, maupun menunjuk pihak tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
- Menjadi juru bayar, menerima titipan uang, atau merekayasa pembayaran serta administrasi pemerintahan desa.
- Memaksakan kehendak atas suatu usulan kegiatan dalam pengelolaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Kalau masih nekat, Kepmendes ini jelas-jelas menyebut bakal dikenai sanksi pelanggaran berat alias risiko pemecatan dari TPP.
“Dari pendamping desa jadi konsultan dan kontraktor proyek fisik, dari pengarah jadi penguasa proyek. Lha piye, kalau bukan tamak, apa coba?” sindir Wiwit.
Wiwit menyebut sebelumnya ia sudah mengantongi bukti dokumen transaksi dari 2019 sampai 2024, kontrak jasa konsultan, sampai testimoni desa yang merasa dipaksa.
“Ada desa yang cerita blak-blakan: mereka dipaksa pakai jasa konsultan tertentu oleh oknum TPP. Bukan sekadar rekomendasi, tapi wajib. Kalau nolak, siap-siap dipersulit. Nah, ini yang kami nggak bisa diamkan,” jelas Wiwit.
Dari Amanah Jadi Ajang Serakah
Lebih jauh, Wiwit mengingatkan kembali bahwa posisi TPP sejatinya adalah amanah. Mereka sudah digaji dari APBN untuk mendampingi desa agar pembangunan lebih efektif. Tapi, jika amanah itu dipelintir jadi ajang memperkaya diri oleh TPP, jelas mencederai kepercayaan masyarakat.
“Kalau sudah digaji dari APBN, ya kerja profesional. Karena jika TPP main proyek desa itu jelas melanggar Kepmendes, akan menciderai integritas TPP,” tegasnya.
Laporan ke Kemendes dan Warning ke APH
Dalam waktu dekat, FKI-1 berencana melayangkan laporan resmi ke Kementerian Desa PDT. Laporan itu berisi rangkuman temuan lengkap, dari dokumen transaksi, kontrak, sampai daftar oknum TPP yang nakal. Bahkan, jika pola ini terus berlanjut, Wiwit mengancam akan menyeret kasus ini ke Aparat Penegak Hukum (APH) karena Tipidkornya jelas, kerugian negara lewat penyalahgunaan kewenangannya nyata.
“Kalau nggak ditindak, Mojokerto bisa jadi contoh buruk. Apalagi sebentar lagi ada perekrutan baru TPP. Kalau yang serakah ini masih dikasih tempat, tamat sudah integritas pendamping desa,” tegas Wiwit.
Desa Jadi ATM, TPP Jadi Mesin EDC?
Fenomena oknum TPP yang serakah ini sejatinya membuka mata: ada celah besar dalam pengawasan. Harusnya, desa jadi ruang partisipatif, bukan ladang bancakan. Apalagi kalau desa sampai diperlakukan seperti ATM berjalan, dengan TPP yang menjelma jadi mesin EDC penyedot anggaran.
“Sudahlah, kalau ingin jadi konsultan dan kontraktor proyek, jangan jadi TPP. Desa itu butuh pendamping, bukan pemain proyek. Jangan sampai desa malah jadi korban tamakmu,” pungkas Wiwit.
Artikel terkait:
- Ratusan Guru PAI di Mojokerto Belum Tersertifikasi, Kemenag Siapkan Usulan Sertifikasi Tahun Depan
- DPC Partai Gerindra Kabupaten Mojokerto Rayakan HUT ke-17, Teguhkan Semangat “Berjuang Tiada Akhir”
- Pemuda Asal Sidoarjo yang Dinyatakan Hilang Usai Lompat ke Sungai Ditemukan Meninggal di Mojokerto
- Sejarah Petirtaan Jolotundo, Warisan Peradaban Kuno di Lereng Gunung Penanggungan Mojokerto
- Penulis: Alief
Saat ini belum ada komentar