10 Nama Pahlawan Nasional Termasuk Soeharto, Pemerintah Akan Umumkan 10 November
Jakarta, Moralita.com – Pemerintah dijadwalkan akan mengumumkan secara resmi daftar tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 pada Senin (10/11/2025), bertepatan dengan momentum peringatan Hari Pahlawan.
Dari sekitar sepuluh nama yang akan diumumkan, salah satu yang paling mencuri perhatian publik adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Kabar tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi seusai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Jalan Kartanegara, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025).
“Kurang lebih ada sepuluh nama. Ya, masuk, masuk (nama Soeharto),” ujar Prasetyo kepada wartawan.
Prasetyo menjelaskan, pengumuman resmi nama-nama tokoh penerima gelar akan dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah upacara kenegaraan.
“Besok, Insyaallah akan diumumkan. Iya, oleh Presiden sendiri,” kata Prasetyo.
Rapat terbatas yang digelar di kediaman Presiden Prabowo tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang secara langsung terlibat dalam proses penilaian dan rekomendasi gelar kepahlawanan.
Prasetyo menyebut, rapat kali ini merupakan tahap finalisasi dari proses panjang seleksi nama-nama calon pahlawan nasional yang sebelumnya telah melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Finalisasi saja, tadi Bapak Presiden juga menerima masukan dari Ketua MPR dan Wakil Ketua DPR,” ujar Prasetyo.
Ia menambahkan, gaya kepemimpinan Presiden Prabowo dalam proses pengambilan keputusan ini menekankan pada dialog dan musyawarah lintas lembaga serta tokoh bangsa.
“Beliau menugaskan beberapa orang untuk berkomunikasi dengan para tokoh dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Jadi, keputusan nanti benar-benar melalui pertimbangan yang matang,” lanjutnya.
Rapat tersebut menandai fase akhir dari serangkaian diskusi intensif yang telah berlangsung beberapa minggu terakhir, menandai bahwa politik penghargaan terhadap jasa pahlawan kini memasuki babak baru di bawah pemerintahan Prabowo.
Sebelumnya, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengungkapkan bahwa daftar 49 tokoh calon penerima gelar pahlawan nasional telah diserahkan kepada Presiden Prabowo oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
“Ya tentu sudah diserahkan ke Presiden, dari Dewan Gelar. Pak Fadli Zon sudah menghadap Presiden untuk menyerahkan nama-nama yang telah memenuhi syarat,” ujar Gus Ipul kepada wartawan di Jakarta Pusat, Sabtu (8/11).
Dari total 49 nama tersebut, 40 merupakan usulan baru, sementara 9 lainnya adalah nama lama yang sempat tertunda penetapannya pada periode sebelumnya.
Beberapa nama yang mencolok dalam daftar itu antara lain Presiden Soeharto, Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Syekhona Kholil Bangkalan, KH Bisri Syansuri, serta aktivis buruh Marsinah.
“Ada beberapa nama, di antaranya tentu Presiden Soeharto, Presiden Gus Dur, Syekhona Kholil Bangkalan, Kiai Bisri Syansuri, dan pejuang-pejuang lain dari berbagai provinsi. (Marsinah) ya masuk, masuk, (kategori) pejuang buruh juga termasuk dari 49 itu,” terang Gus Ipul.
Penetapan nama Soeharto sebagai calon penerima gelar pahlawan nasional tentu tidak datang tanpa perdebatan.
Bagi sebagian kalangan, Soeharto adalah sosok stabilisator dan pembangun ekonomi nasional di masa Orde Baru. Namun bagi yang lain, ia juga mewariskan jejak kelam pelanggaran HAM dan korupsi struktural.
Pengusulan ini menimbulkan dialektika moral dan politik: apakah seorang tokoh yang meninggalkan warisan pembangunan besar dapat diakui sebagai pahlawan meski bayang-bayang otoritariannya masih membekas dalam memori kolektif bangsa?
Sementara itu, munculnya nama Marsinah, seorang buruh perempuan yang tewas dalam perjuangan hak pekerja pada 1993, menjadi antitesis simbolik terhadap figur Soeharto.
Di bawah bayang kekuasaan yang kala itu represif, Marsinah adalah korban dari sistem yang kini tengah diberi ruang untuk diakui sebagai pahlawan oleh negara yang sama.
Jika Soeharto adalah wajah kekuasaan negara, maka Marsinah adalah suara nurani rakyat kecil yang menuntut keadilan sosial.
Dua nama itu berdiri berseberangan dalam sejarah, namun kini berpotensi dipertemukan di panggung yang sama, panggung kepahlawanan resmi Republik.
Secara akademis, pemberian gelar pahlawan nasional tidak hanya bermakna penghargaan, tetapi juga politik pengakuan (politics of recognition) sebuah upaya negara untuk menata ulang narasi sejarah dan menentukan siapa yang pantas dikenang.
Keputusan pemerintah kali ini menandai upaya rekonsiliasi simbolik antara kekuasaan masa lalu dan aspirasi moral masa kini.
Namun, seperti gaya khas publik Indonesia, pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan kemungkinan besar akan memicu dua kubu besar di ruang publik bahwa
yang satu menyambutnya sebagai bentuk rekonsiliasi sejarah, dan yang lain menolak dengan alasan pencucian dosa politik.
Dan di tengah dua ekstrem itu, ada kelompok ketiga mereka yang hanya menghela napas panjang.
Jika pengumuman besok benar mencantumkan nama Soeharto di antara deretan pahlawan nasional, maka negara secara resmi memberi tempat bagi figur yang dulu dianggap kontroversial dalam kanon resmi sejarah Indonesia.
Namun, keputusan ini tidak hanya tentang gelar, melainkan juga tentang cara negara berdamai dengan masa lalunya sendiri.
Apakah ini bentuk kedewasaan politik bangsa, atau justru tanda bahwa memori sejarah mulai kehilangan daya kritiknya itu masih akan diuji oleh waktu.
Sementara itu, bagi sebagian orang, nama-nama seperti Marsinah atau Gus Dur menjadi pengingat bahwa kepahlawanan sejati tidak selalu lahir dari kekuasaan, tapi dari keberanian melawan ketidakadilan.
Besok, negara akan berbicara.
Dan seperti biasa, rakyat akan menimbang dengan caranya sendiri.






