KPK Tetapkan Wakil Ketua DPRD OKU sebagai Tersangka Baru, Pokir Disulap Jadi Proyek PUPR Rp35 Miliar
Ogan Komering Ulu, Moralita.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengurai simpul korupsi proyek infrastruktur yang mengguncang Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Kamis (20/11/2025), lembaga antirasuah itu resmi memanggil Wakil Ketua DPRD OKU dari Partai Gerindra, Parwanto, untuk diperiksa sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan suap pengadaan proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten OKU Tahun Anggaran 2024–2025.
Juru bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan bahwa pemeriksaan berlangsung di Kantor Polda Sumatera Selatan. Ia menegaskan bahwa langkah pemanggilan ini merupakan bagian dari rangkaian penyidikan lanjutan untuk menuntaskan dugaan praktik korupsi berjamaah yang melibatkan unsur legislatif dan pihak swasta.
“Pemeriksaan hari ini dilakukan terhadap tersangka Parwanto, Wakil Ketua DPRD OKU. Selain itu, penyidik juga memanggil tiga tersangka lain yang sudah ditetapkan sejak sebelumnya,” ujar Budi.
Tiga tersangka lain yang turut diperiksa hari ini adalah:
- Robi Vitergo, anggota DPRD OKU dari PKB
- Ahmat Thoha alias Anang, swasta
- Mendra SB, swasta
Keempatnya telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 23 Oktober 2025, usai diperiksa sebagai saksi. Status mereka naik setelah penyidik menemukan bukti kuat keterlibatan dalam skema suap proyek.
Kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Maret 2025 yang menjerat enam orang sekaligus. Mereka adalah Ketua dan Anggota Komisi III DPRD OKU serta Kepala Dinas PUPR.
OTT tersebut mengungkap praktik ijon politik anggaran dan jual-beli proyek yang diduga telah menjadi budaya laten dalam proses pembahasan anggaran daerah.
Skema: Pokir Disulap Jadi Proyek PUPR Rp35 Miliar
Skandal ini berawal ketika DPRD OKU membahas Rancangan APBD Tahun Anggaran 2025. Dalam pembahasan itu, beberapa anggota DPRD meminta jatah “pokir” (pokok-pokok pikiran), yang kemudian disepakati untuk dikonversi menjadi proyek fisik di Dinas PUPR dengan nilai awal Rp45 miliar, lalu disesuaikan menjadi Rp35 miliar.
Dalam deal tersebut, para anggota DPRD menuntut fee 20 persen dari total nilai proyek, setara sekitar Rp7 miliar.
Proyek Dikondisikan, Bendera Dipinjam, Fee Mengalir 22 Persen
Untuk melancarkan kesepakatan, Kepala Dinas PUPR kemudian mengkondisikan sembilan proyek senilai miliaran rupiah, termasuk:
- rehabilitasi rumah dinas Bupati
- pembangunan kantor dinas
- peningkatan jaringan jalan
Proyek tersebut dikerjakan melalui pola pinjam bendera perusahaan oleh pihak swasta yang telah berkolaborasi dengan jaringan internal PUPR dan DPRD.
Skema fee proyek disepakati 22 persen dengan rincian 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD OKU
Model ini secara terang benderang menunjukkan praktik korupsi struktural legislatif dan eksekutif berjalan beriringan dengan swasta untuk menjarah keuangan negara.
KPK menilai bahwa praktik suap proyek di OKU bukanlah kasus individu, melainkan korupsi yang dilakukan melalui jaringan luas, melibatkan aktor legislatif (DPRD), eksekutif (PUPR), pihak swasta.
“Skandal suap ini merupakan bentuk persekongkolan yang dilakukan secara kolektif untuk merampas uang negara melalui manipulasi proyek fisik,” tegas Budi.
Pengembangan kasus dipastikan masih berlangsung, dan bukan tidak mungkin tersangka baru akan muncul dalam proses mendatang.






