Wacana Pembentukan Badan Penerimaan Negara Mengemuka, Pengawasan dan Efektivitas Dipertanyakan
Oleh Redaksi Moralita — Jumat, 13 Juni 2025 15:49 WIB; ?>

Ilustrasi BPN
Jakarta, Moralita.com – Gagasan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) kembali mengemuka setelah dipresentasikan oleh Edi Slamet Irianto, mantan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat, Rabu (11/6).
Dalam paparannya, Edi mengusulkan bahwa BPN akan berada langsung di bawah Presiden, dipimpin oleh seorang menteri/kepala, serta didampingi dua wakil: satu fokus pada urusan operasional, dan satu lagi mengurus aspek internal kelembagaan. Pengawasan atas BPN akan dilakukan oleh Dewan Pengawas yang terdiri dari sejumlah pejabat tinggi negara secara ex officio, seperti Menko Perekonomian, Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala PPATK, ditambah empat anggota independen dari kalangan profesional.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan apakah struktur tersebut telah menjadi rancangan resmi pemerintah. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, menyatakan pihaknya belum dapat mengonfirmasi posisi Kementerian Keuangan terkait desain tersebut. “Kami belum bisa menanggapi hal tersebut,” ujarnya melalui pesan singkat, Jumat (13/6).
Strategi Cepat dan Reformasi Pajak
Menurut Edi, BPN merupakan strategi quick win yang dirancang timnya untuk diimplementasikan pada 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Fokus utama akan diarahkan pada proses rekrutmen pejabat eselon I, konsolidasi data penerimaan nasional, serta penguatan sistem pengamanan penerimaan negara tahun 2024–2025. Reformasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi agenda awal yang dinilai krusial.
“Struktur ini dirancang sejak masa kampanye di Tim Kampanye Nasional. Namun, bentuk organisasi masih bersifat dinamis dan dapat disesuaikan dengan perkembangan situasi serta arah kebijakan pemerintahan,” tegas Edi.
Ia juga menekankan pentingnya pemisahan antara fungsi penerimaan dan pengeluaran negara guna mewujudkan tata kelola fiskal yang transparan dan efisien. Hal ini, menurutnya, vital dalam memperkuat kemandirian fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan utang luar negeri, terlebih dalam mendukung program-program besar seperti makan siang gratis dan ketahanan pangan nasional.
Namun, Edi turut mengkritisi kompleksitas regulasi perpajakan yang kerap membingungkan pelaku usaha. Menurutnya, birokrasi pemungutan yang berlapis membuka ruang terjadinya kebocoran penerimaan. “Kebocoran penerimaan berdampak langsung pada anjloknya pendapatan negara. Karena itu, pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN) menjadi langkah yang tidak bisa ditunda,” ujarnya.
Aspek Hukum dan Efektivitas Dipertanyakan
Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, menilai bahwa hingga kini belum ada dasar hukum maupun dokumen resmi yang dapat mengafirmasi struktur BPN sebagaimana dipresentasikan Edi. “Struktur tersebut disusun saat masa kampanye Pilpres 2024, dan belum tentu mencerminkan format kelembagaan yang final,” katanya.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, memang terdapat rencana pembentukan BPN. Namun, dokumen tersebut belum memuat rincian desain kelembagaan, melainkan hanya membagi prosesnya ke dalam tiga tahap: reformasi administrasi, internalisasi tata kelola, dan implementasi sistem pengumpulan penerimaan yang komprehensif.
Menurut Prianto, keberadaan BPN harus dibaca dalam kerangka meningkatkan rasio pajak nasional yang ditargetkan mencapai 23 persen pada 2029. Padahal, rasio pajak Indonesia pada kuartal I 2025 hanya sebesar 7,95 persen, turun dari 10,08 persen pada 2024.
Namun demikian, Prianto mengingatkan bahwa efektivitas lembaga baru tidak dapat dinilai hanya dari desain strukturalnya. “Efektivitas bergantung pada target dan capaian yang dihasilkan. Tanpa dasar hukum yang kuat, BPN masih sebatas wacana. Kita belum bisa menilai apakah lembaga ini akan efektif atau justru kontraproduktif,” tegasnya.
Menkeu dan Keraguan Atas Pemisahan DJP
Kementerian Keuangan, yang selama ini menjadi otoritas utama dalam mengelola penerimaan dan belanja negara, tampaknya masih berhati-hati menanggapi wacana ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan sempat menyatakan bahwa tidak ada rencana pembentukan BPN, usai pertemuannya dengan Presiden Prabowo pada 14 Oktober 2024. “Nggak ada, Kemenkeu masih satu,” katanya saat itu.
Sri Mulyani dan jajarannya diketahui keberatan jika fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dipisahkan dari Kementerian Keuangan. Alasannya bersifat teknokratis: pemisahan fungsi penerimaan dan belanja akan menambah kompleksitas koordinasi dan pelaksanaan APBN.
Kritik atas Esensi dan Momentum Pembentukan BPN
Fajry Akbar, peneliti dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mempertanyakan urgensi pembentukan BPN dalam situasi saat ini. Ia menilai bahwa pembentukan semi-autonomous revenue authority (SARA) seperti BPN seharusnya tidak hanya sebatas perubahan struktur organisasi, tetapi harus diiringi dengan pemberian kewenangan substantif—seperti hak merekrut dan memberhentikan pegawai, serta penentuan anggaran operasional secara independen.
“Pertanyaannya, apakah selama ini otoritas pajak di Indonesia memang kekurangan kewenangan? Jika tidak, apa urgensinya membentuk lembaga baru seperti BPN yang jelas memerlukan anggaran besar?” ujarnya.
Fajry menekankan bahwa perbaikan sektor perpajakan tidak cukup hanya melalui pembentukan lembaga baru. Yang lebih penting, menurutnya, adalah memperkuat disiplin fiskal, meningkatkan kepercayaan publik, memperluas basis pajak melalui investasi, serta membangun lembaga yang etis dan profesional.
“Kalau BPN hanya sekadar otak-atik struktur organisasi, tanpa pengawasan dari Kemenkeu, saya kira itu akan sia-sia. Padahal keberhasilan SARA justru bergantung pada koordinasi yang erat dengan Kemenkeu,” pungkasnya.
- Author: Redaksi Moralita
At the moment there is no comment