Senin, 4 Agu 2025
light_mode
Home » News » Pemprov Jatim: Pergantian Nama “Sound Horeg” Tidak Ubah Esensi Aturan Pembatasan Kebisingan

Pemprov Jatim: Pergantian Nama “Sound Horeg” Tidak Ubah Esensi Aturan Pembatasan Kebisingan

Oleh Redaksi Moralita — Sabtu, 2 Agustus 2025 17:51 WIB

Surabaya, Moralita.com – Pemerintah Provinsi Jawa Timur menegaskan bahwa perubahan istilah dari “sound horeg” menjadi “Sound Karnaval Indonesia” tidak akan mengubah substansi pengaturan terhadap aktivitas penggunaan sound system dengan tingkat kebisingan yang melebihi ambang batas wajar. Dalam waktu dekat, regulasi resmi mengenai pembatasan penggunaan sound system berdesibel tinggi akan diumumkan secara formal.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan bahwa penyusunan aturan tersebut saat ini telah memasuki tahap finalisasi dan akan segera disampaikan secara resmi oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur.

“Kita tunggu saja. Nanti rencananya akan ada maklumat dari Bapak Kapolda agar semuanya terkoordinasi dengan baik,” ujar Khofifah saat ditemui di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jumat (1/8).

Beberapa daerah di Jawa Timur seperti Tulungagung, Banyuwangi, dan Jember tercatat sebagai wilayah dengan intensitas tinggi dalam penggunaan sound system bervolume besar untuk berbagai acara, mulai dari karnaval hingga hajatan masyarakat. Kondisi ini mendorong kebutuhan akan regulasi yang tegas dan terukur.

Baca Juga :  Bank Jatim Catat Laba Tertinggi Nasional Meski Diterpa Kasus Kredit Fiktif, Khofifah: Jadi Rujukan Banyak Gubernur

Lima Fakta Terkait Rencana Regulasi Pembatasan “Sound Horeg” di Jawa Timur

1. Regulasi Akan Diumumkan oleh Kapolda Jawa Timur

Pemprov Jatim menggandeng Kepolisian Daerah Jawa Timur sebagai pihak yang akan mengumumkan maklumat atau keputusan resmi tentang pembatasan penggunaan sound system. Maklumat ini akan menjadi bagian dari langkah preventif dalam menjaga ketertiban umum.

2. Disiapkan Payung Hukum Khusus: Pergub atau Surat Edaran Bersama

Khofifah menjelaskan bahwa pihaknya tengah mengkaji bentuk regulasi yang paling tepat, baik berupa Peraturan Gubernur (Pergub), Surat Edaran, maupun Surat Keputusan Bersama. Fokus utama pengaturan ini bukan pada nomenklatur kegiatan, melainkan pada parameter teknis seperti ambang batas kebisingan (desibel).

“Yang harus kita atur bukan istilahnya, tapi intensitas kebisingannya. Karena itu harus ada payung hukum yang jelas, yang bisa segera diterapkan,” tegas Khofifah.

3. Sound Horeg Dinilai Berbeda dengan Sound System Biasa

Baca Juga :  Rencana Pengoperasian Kapal Cepat Banyuwangi–Denpasar Tunggu Finalisasi Administrasi dan Koordinasi Antarprovinsi

Gubernur menyatakan bahwa sound horeg atau sound system yang biasa digunakan dalam parade dan hajatan masyarakat memiliki karakteristik berbeda dibanding penggunaan biasa, khususnya dari segi intensitas kebisingan yang dapat mencapai 85 hingga 100 desibel serta berlangsung dalam waktu yang lama.

“Ini harus dicantumkan dalam regulasi yang akan ditetapkan bersama. Apalagi di bulan Agustus, saat perayaan HUT Kemerdekaan, kegiatan semacam ini semakin masif,” imbuhnya.

4. Melibatkan MUI, TNI, Polri, dan Pakar Kesehatan

Sekretaris MUI Jawa Timur, KH Hasan Ubaidillah, mengonfirmasi bahwa pembahasan regulasi telah dilakukan secara lintas sektor, termasuk melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), TNI, Polri, dan ahli di bidang kesehatan lingkungan.

“Saat ini sudah dalam tahap finalisasi. Semoga tidak butuh waktu lama untuk segera diberlakukan,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa bentuk regulasi masih didiskusikan, apakah akan dalam format Surat Edaran Bersama, Surat Keputusan Bersama, atau ditingkatkan menjadi Pergub maupun Perda.

Baca Juga :  Warga Kediri Diintimidasi karena Menolak Karnaval Sound Horeg, Rumah Diteror dan Difitnah di Medsos

5. Regulasi Berlaku untuk Semua Jenis Sound Berdesibel Tinggi

KH Hasan Ubaidillah menegaskan bahwa aturan yang tengah difinalisasi tidak hanya berlaku untuk istilah “sound horeg”, melainkan untuk seluruh bentuk kegiatan yang menggunakan sound system dengan intensitas suara tinggi, termasuk yang dikemas dengan istilah baru seperti “Sound Festival Indonesia”.

“Mau disebut sound horeg, sound festival, atau apapun namanya, kalau tingkat kebisingannya melampaui batas normal, maka itu tetap mengganggu ketertiban umum dan harus diatur,” tandasnya.

Regulasi ini merupakan respons atas keresahan masyarakat terkait gangguan suara berlebihan yang ditimbulkan oleh penggunaan sound system berdesibel tinggi. Pemprov Jatim menekankan bahwa langkah ini bukan bentuk pelarangan total, melainkan pengaturan yang mengedepankan keseimbangan antara ekspresi budaya dan hak atas ketenangan publik.

 

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less