MUI Jatim Tanggapi Pergantian Nama ‘Sound Horeg’ Menjadi ‘Sound Karnaval Indonesia’
Oleh Redaksi Moralita — Selasa, 5 Agustus 2025 12:17 WIB; ?>

Ilustrasi - Sound Horeg.
Surabaya, Moralita.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur merespons wacana perubahan istilah “Sound Horeg” menjadi “Sound Karnaval Indonesia” yang baru-baru ini diumumkan sejumlah komunitas pelaku usaha sound system di wilayah Malang Raya.
Sekretaris MUI Jawa Timur, KH Hasan Ubaidillah, menyatakan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan pergantian istilah tersebut. Namun demikian, MUI tetap menyoroti substansi utama dari kegiatan tersebut, yaitu potensi gangguan kebisingan yang ditimbulkan dan aspek-aspek lain yang bertentangan dengan nilai agama serta norma sosial.
“Kami tidak mempermasalahkan nama atau istilahnya. Namun jika tingkat kebisingan dalam kegiatan tersebut tetap melampaui ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 85 desibel, maka itu tetap menjadi persoalan serius karena berdampak pada kesehatan dan ketertiban umum,” ujar KH Hasan saat dikonfirmasi pada Senin (4/8).
Ia menambahkan, kebisingan pada level tersebut berpotensi merusak pendengaran manusia normal dan melanggar ketentuan dalam berbagai regulasi nasional yang telah diatur oleh instansi pemerintah terkait.
Lebih lanjut, MUI Jawa Timur juga memberikan perhatian terhadap potensi pelanggaran norma-norma agama dan sosial dalam pelaksanaan Sound Karnaval Indonesia. Jika dalam praktiknya terdapat tontonan berunsur pornografi, aksi tidak senonoh (pornoaksi), serta konsumsi minuman keras, maka hal tersebut harus ditindak sesuai fatwa MUI dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jika di dalamnya masih terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan norma agama seperti pornografi, pornoaksi, atau konsumsi miras, maka kegiatan itu wajib diluruskan dan disesuaikan dengan standar etika, norma agama, serta ketentuan hukum yang berlaku,” tegas KH Hasan.
Ia juga menekankan bahwa perubahan nama semata tidak akan memberikan makna substantif jika tidak dibarengi dengan perbaikan dalam implementasi di lapangan.
“Sekadar mengganti nama, namun isi dan praktiknya masih bertentangan dengan norma, maka tetap harus diatur dan diawasi dengan ketat sesuai regulasi yang sudah ada,” tambahnya.
KH Hasan menyebutkan bahwa regulasi mengenai tingkat kebisingan sudah jelas dan telah diatur oleh beberapa kementerian terkait, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Ketenagakerjaan.
Saat ini, menurut KH Hasan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama tim khusus sedang memfinalisasi rancangan regulasi terkait pelaksanaan kegiatan yang melibatkan penggunaan sound system berskala besar. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum serta menciptakan ketertiban di tengah masyarakat.
“Proses finalisasi sedang berlangsung. Mudah-mudahan dalam waktu dekat regulasi tersebut bisa segera diterbitkan,” ujarnya.
Sebelumnya, para pelaku usaha sound system yang tergabung dalam komunitas Team Sotok mendeklarasikan penggantian nama “Sound Horeg” menjadi “Sound Karnaval Indonesia” dalam perayaan ulang tahun ke-6 komunitas tersebut di Lapangan Desa Gedog Kulon, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, pada Senin (29/7/2025).
Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, David Stevan, menjelaskan bahwa langkah penggantian nama ini merupakan upaya meredam polemik dan resistensi yang berkembang di tengah masyarakat.
“Nama ‘sound horeg’ sudah kami tinggalkan. Kami sepakat menggunakan nama Sound Karnaval Indonesia. Ini bagian dari komitmen kami untuk meredam kegaduhan dan menunjukkan bahwa kami siap mengikuti peraturan pemerintah,” ujarnya.
David menambahkan bahwa pihaknya juga akan menunggu regulasi resmi dari pemerintah untuk menentukan standar teknis dan batasan suara dalam pelaksanaan kegiatan sound karnaval.
“Kami harap ke depan tidak ada lagi kegaduhan di masyarakat terkait sound. Kami akan selalu patuh terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah,” pungkasnya.
- Author: Redaksi Moralita
At the moment there is no comment