Selasa, 5 Agu 2025
light_mode
Home » News » Begini Analisa Ahli Hukum Pidana terkait Kasus Jual-Beli Jabatan di Pemkab Mojokerto, Berpotensi Jerat Pelaku dan Pemberi Suap

Begini Analisa Ahli Hukum Pidana terkait Kasus Jual-Beli Jabatan di Pemkab Mojokerto, Berpotensi Jerat Pelaku dan Pemberi Suap

Oleh Redaksi Moralita — Kamis, 27 Februari 2025 10:47 WIB

Mojokerto, Moralita.com – Penangkapan empat terduga pelaku mengaku BIN kasus jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto yang diamankan Anggota Korem 082/CPYJ dan dilimpahkan ke Polres Mojokerto Kota mendapat sorotan dari kalangan akademisi menyoal unsur potensi jerat hukum pidana dari berbagai sisi.

Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H., Dosen Hukum Pidana Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, memberikan analisis hukum yang menegaskan bahwa tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan dan/atau suap sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Menurut Dr. Imron Rosyadi, tindakan yang dilakukan oleh pensiunan anggota TNI AD dan tiga pelaku lainnya dapat memenuhi unsur penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, atau bahkan masuk dalam kategori suap jika melibatkan pihak yang memiliki kewenangan dalam proses pengangkatan jabatan.

“Jika kita telaah dari perspektif hukum pidana, maka kasus ini harus dianalisis berdasarkan dua unsur utama, yaitu unsur subjektif (niat jahat pelaku) dan unsur objektif (kerugian yang diderita korban). Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, maka perbuatan ini dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana,” jelas Dr. Imron.

Lebih lanjut, Dr. Imron menjelaskan bahwa Pasal 378 KUHP mengatur ancaman pidana bagi siapa saja yang melakukan penipuan dengan menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan untuk menggerakkan orang lain menyerahkan barang atau uang.

Baca Juga :  Ditemukan Mayat Pria di Pintu Air Rolak 9 Mojokerto, Ciri kenakan Sweater Hitam dan Pakai Sarung

Bunyi lengkap Pasal 378 KUHP adalah:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Menurut Dr. Imron, dalam kasus ini terdapat beberapa indikasi kuat yang memenuhi unsur tindak pidana penipuan, di antaranya:

1. Niat Jahat (Mens Rea): Pelaku memiliki itikad buruk dengan menawarkan jabatan kepada korban tanpa kewenangan resmi.

2. Tipu Muslihat: Pelaku menggunakan identitas sebagai anggota badan intelijen dan menyebarkan informasi palsu untuk meyakinkan korban.

3. Kerugian Korban: ASN yang menjadi korban mengalami kerugian finansial karena telah menyerahkan sejumlah uang sebagai “mahar” untuk promosi jabatan.

“Jika para pelaku terbukti menawarkan jabatan tanpa memiliki kewenangan sah dan mengiming-imingi korban dengan janji palsu, maka mereka dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP atau Pasal 372 KUHP tentang penggelapan,” paparnya.

Potensi Jerat Pidana Suap bagi Pemberi dan Penerima

Dr. Imron juga menegaskan bahwa jika dalam pengembangan kasus ditemukan keterlibatan pejabat publik yang memiliki kewenangan dalam proses pengisian jabatan, maka kasus ini dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi berupa suap atau gratifikasi.

Baca Juga :  Wanawisata Bernah de Vallei, Destinasi Wisata Hutan Alam Pacet Mojokerto yang Dikelola Masyarakat Desa

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pemberi suap diancam dengan pidana penjara 1 hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 250 juta.

Sementara itu, Pasal 12 huruf (b) UU Tipikor memberikan ancaman pidana yang jauh lebih berat bagi pejabat yang menerima suap, yakni:

Pidana penjara seumur hidup, atau Pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda minimal Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

“Jika terbukti ada pejabat di lingkungan Pemkab Mojokerto yang menerima imbalan untuk memengaruhi proses promosi jabatan, maka mereka bisa dijerat dengan pidana suap sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Sanksinya sangat berat, baik bagi pemberi maupun penerima,” tambahnya.

Perbedaan Penipuan dan Suap dalam Konteks Jual-Beli Jabatan

Dr. Imron menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kasus yang memenuhi unsur penipuan murni dengan suap dalam jabatan:

1. Penipuan (Pasal 378 KUHP) berlaku jika pelaku tidak memiliki kewenangan atau akses nyata untuk memengaruhi promosi jabatan dan hanya menggunakan tipu daya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

2. Suap (UU Tipikor) terjadi jika pelaku atau pihak yang menjanjikan jabatan memiliki atau bekerja sama dengan pejabat yang berwenang dalam proses pengisian jabatan.

Baca Juga :  Nasib Kapan Pelantikan Kepala Daerah Terpilih akan dibahas Mendagri dan DPR Pekan Depan

 

“Jika pelaku tidak memiliki kewenangan nyata, maka ini masuk dalam kategori penipuan. Namun, jika terbukti ada keterlibatan pejabat yang memiliki otoritas, maka ini jelas masuk ke dalam kategori suap yang ancaman hukumannya jauh lebih berat,” tegasnya.

Potensi Pidana Ganda bagi Pelaku dan Pemberi Suap

Dalam penutup analisisnya, Dr. Imron menekankan bahwa semua pihak yang terlibat dalam skema jual-beli jabatan dapat menghadapi pidana ganda:

1. Pelaku utama (pensiunan TNI AD dan rekan-rekannya) dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun.

2. Pemberi suap (ASN yang membayar untuk mendapatkan jabatan) dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor, dengan ancaman pidana penjara 1-5 tahun dan denda maksimal Rp 250 juta.

3. Jika ada pejabat berwenang yang menerima suap, maka mereka dapat dijerat Pasal 12 huruf (b) UU Tipikor, yang ancaman hukumannya mencapai penjara seumur hidup atau 20 tahun.

 

“Kasus ini harus diusut tuntas mendalam untuk menegakkan prinsip clean governance. Aparatur sipil negara juga diingatkan agar tidak tergoda dengan jalur ilegal dalam mendapatkan jabatan karena konsekuensi hukumnya sangat berat,” pungkasnya.

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less