Begini Kondisi Tetangga Kos Alvi Lidah Wetan Surabaya Pasca Tragedi Mutilasi
Oleh Tim Redaksi Moralita — Jumat, 19 September 2025 14:52 WIB; ?>

Kondisi kos Alvi.
Surabaya, Moralita.com – Kasus pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan oleh Alvi Maulana (24) terhadap korban Tiara Angelina Saraswati (25) masih menyisakan duka mendalam dan rasa ngeri di kalangan masyarakat sekitar kos tempat tinggalnya.
Peristiwa yang terjadi di sebuah rumah kos di kawasan Lidah Wetan RT 1 RW 1, Surabaya, tersebut sempat menjadi atensi publik secara nasional. Bukan hanya karena kekejaman tindakannya, tetapi juga lantaran lokasi kejadian berada di lingkungan padat penduduk dan di rumah kos yang masih aktif dihuni.
Sejak tragedi berdarah itu mencuat, banyak pihak menduga para penghuni kos akan memilih pergi meninggalkan tempat tinggal mereka. Logika ini muncul karena lokasi kejadian yang identik dengan peristiwa horor kerap dianggap menyisakan trauma psikologis bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Namun, kenyataan justru berkata lain.
Saat tim wartawan mendatangi lokasi kos pasca-peristiwa, suasana terlihat normal. Dari kamar nomor 1 hingga kamar nomor 6 yang berada dalam satu bangunan, seluruhnya masih dihuni oleh penyewa seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda kepanikan ataupun gelombang perpindahan sebagaimana yang semula diduga.
Hal ini dibenarkan langsung oleh Budi, selaku pemilik kos. Dalam keterangannya, Budi menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada satu pun penghuni yang menyatakan ingin meninggalkan kos pasca tragedi.
“Sampai saat ini semua penghuni kos masih belum ada yang pamit untuk keluar. Jadi, semua masih tinggal di sana,” ujarnya, Jumat (20/9).
Lebih lanjut, Budi menekankan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan tekanan kepada penghuni untuk tetap bertahan. Menurutnya, setiap penghuni diberikan kebebasan penuh untuk menentukan pilihan mereka sendiri.
“Kami tidak memaksa untuk tetap tinggal. Tapi kalau mau pindah nggih ndak apa-apa. Sampai saat ini tidak ada yang konfirmasi pindah atau akan pindah,” tambahnya.
Pernyataan Budi senada dengan kesaksian beberapa penghuni kos. Ifa, yang menempati kamar tepat di sebelah kanan kamar Alvi, mengungkapkan bahwa dirinya tidak merasakan hal-hal mistis maupun kejadian janggal setelah peristiwa mengerikan tersebut.
“Tidak ada apa-apa. Selama ini aman-aman saja, jadi kenapa saya harus pindah. Di sini terjangkau dan sudah nyaman,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Heri, penghuni lain yang sudah cukup lama tinggal di kos tersebut. Dengan biaya sewa yang relatif terjangkau, yakni Rp450 ribu per bulan, Heri mengaku sudah merasa betah dan tidak punya alasan untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
“Sudah berapa lama, saya lupa. Cuma di sini sudah nyaman, murah juga. Jadi kenapa harus pindah,” ucapnya.
Menurut Heri, suasana psikologis pasca-tragedi sangat bergantung pada cara individu menyikapinya. Ia menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada cerita horor yang beredar di kalangan penghuni kos.
“Semua itu tergantung perasaan orang masing-masing. Kalau punya perasaan takut ya semua bisa jadi menakutkan. Toh kita juga nggak pernah mengganggu pelaku atau korban semasa hidupnya. Jadi kenapa saya harus takut atau bahkan sampai pindah,” tegasnya.
Fenomena bertahannya para penghuni kos ini menarik untuk dicermati lebih dalam. Secara psikologis, banyak orang cenderung mengaitkan lokasi kejadian pembunuhan dengan rasa takut, bahkan stigma mistis. Namun, para penghuni kos di Lidah Wetan memilih untuk bersikap rasional.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap mereka. Pertama, faktor ekonomi. Harga sewa kos yang relatif murah dibandingkan dengan kos-kosan di wilayah Surabaya lainnya menjadi pertimbangan utama.
Kedua, faktor kenyamanan. Para penghuni sudah terbiasa dengan lingkungan tersebut dan merasa tidak perlu mengorbankan kenyamanan yang telah terbentuk hanya karena satu peristiwa tragis.
Ketiga, faktor kepercayaan diri. Sebagian penghuni meyakini bahwa selama mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan pelaku maupun korban semasa hidupnya, maka tidak ada alasan untuk merasa terancam.
Keempat, minimnya gejala traumatis. Tidak adanya kejadian aneh atau mistis setelah tragedi menambah rasa percaya diri penghuni untuk tetap bertahan.
Tragedi Lidah Wetan telah mengajarkan bahwa respon masyarakat terhadap peristiwa kriminal tidak selalu seragam. Jika sebagian orang cenderung menghindari lokasi kejadian karena takut, justru sebagian lain memilih bertahan dengan pertimbangan rasional.
Dalam konteks ini, para penghuni kos Lidah Wetan menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan kenyamanan hidup dapat lebih dominan daripada rasa takut yang bersifat psikologis.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa mutilasi ini tetap meninggalkan luka sosial bagi masyarakat sekitar. Rasa cemas, stigma lingkungan, serta trauma kolektif mungkin masih ada, meskipun tidak selalu tampak di permukaan.
Tragedi kejahatan yang dilakukan Alvi Maulana terhadap Tiara Angelina Saraswati memang meninggalkan kesan mendalam bagi masyarakat Surabaya, khususnya warga Lidah Wetan.
Namun, berbeda dari bayangan awal bahwa rumah kos akan ditinggalkan karena dianggap menyeramkan, kenyataannya para penghuni justru tetap bertahan.
Keputusan mereka menunjukkan bahwa ketenangan, kenyamanan, serta rasionalitas dalam menimbang kondisi hidup lebih kuat dibandingkan bayangan ketakutan. Bagi penghuni kos, rasa aman bukan hanya ditentukan oleh peristiwa masa lalu, melainkan oleh bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari.
Artikel terkait:
- Kasus Penipuan UMKM di Surabaya Barat, Inspektorat Periksa Pegawai Non-ASN dan Lurah Sememi
- Pamer Alat Kelamin ke Tetangga Kos, Seorang Pria di Surabaya Nyaris Diamuk Massa
- Pemprov Jatim Siapkan Dapur Umum 10.500 Porsi per Hari Pascakerusuhan Surabaya
- Polda Jatim Tolak Dokumen Non-Ijazah Milik Eks Karyawan CV Sentosa Seal: Tidak Relevan dengan Kasus Penggelapan
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar