Bupati Lampung Tengah Ardito Ditangkap KPK, Narik Setoran Fee Total Rp 5,75M Mengalir Lewat Adik dan Tim Sukses
Jakarta, Moralita.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali tangkap kasus korupsi politik daerah kali ini panggungnya berada di Lampung Tengah. Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, yang bahkan belum genap setahun menjabat, resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi.
Dan seperti plot yang terlalu sering berulang yakni proyek APBD, tim sukses, keluarga, dan fee berjamaah.
Penetapan tersangka disampaikan langsung oleh Plh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungki Hadipratikto, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Menurut Mungki, nilai fee yang diduga diterima Ardito mencapai Rp 5,75 miliar. Ya, benar: hampir enam miliar. Dan semua itu diterima hanya dalam rentang Februari hingga November 2025 alias langsung tancap gas sejak hari pertama jadi bupati.
APBD Rp 3,19 Triliun, Fee 15–20 Persen: Ardito Main Tarik Setoran Sejak Awal Menjabat
Mungki membeberkan bahwa APBD Lampung Tengah tahun 2025 sebesar Rp 3,19 triliun, sebagian besar untuk infrastruktur, layanan publik, dan program prioritas daerah.
Namun di balik anggaran jumbo itu, Ardito disebut mematok fee 15–20 persen dari para kontraktor agar proyek bisa digiring ke perusahaan tertentu.
Tidak cukup sampai di situ, Ardito menunjuk anggota DPRD Lampung Tengah, Riki Hendra Saputra (RHS), sebagai gatekeeper pengadaan barang dan jasa. Jika proyek itu adalah pintu, maka RHS adalah satpam yang hanya membuka pintu untuk perusahaan milik keluarga dan tim sukses Ardito.
Instruksi jabatan dengan modus:
- Pemenang lelang harus perusahaan keluarga.
- Atau perusahaan orang-orang yang mendukung Ardito saat Pilkada.
- Semuanya lewat Riki dan adik kandung Ardito sendiri.
Dengan kata lain, proyek pemerintah jadi arisan keluarga plus tim sukses.
Fee Mengalir dalam Periode Februari–November 2025, Rp 5,25 Miliar Lewat Adik dan Kolega
Selama sembilan bulan, Ardito disebut menerima fee total Rp 5,25 miliar dari rekanan. Uang tersebut tidak diberikan langsung kepada Ardito, tetapi dialirkan melalui:
- Riki Hendra Saputra, anggota DPRD
- Ranu Hari Prasetyo (RNP), adik kandung Ardito yang juga berperan sebagai bendahara fee proyek.
“Pada periode Februari–November 2025, AW diduga menerima fee senilai Rp 5,25 miliar dari sejumlah penyedia barang dan jasa melalui RHS dan RNP selaku adik Bupati Lampung Tengah,” jelas Mungki.
Artinya Ardito baru dilantik Februari 2025, dan pada bulan itulah aliran fee sudah mulai masuk. Ibarat baru masuk kantor, langsung hapal semua celah.
Tidak Cukup dengan Proyek Infrastruktur, Ardito Juga Garap Lelang Alkes
Masih kurang? Ternyata Ardito juga meminta Anton Wibowo (ANW) Plt Kepala Bapenda yang juga kerabat dekatnya untuk mengatur pemenang lelang alat kesehatan di Dinas Kesehatan Lampung Tengah.
Dari pengondisian lelang alat kesehatan ini, Ardito kembali menerima fee sebesar Rp 500 juta dari Mohamad Lukman Sjamsuri (MLS), Direktur PT Elkaka Mandiri.
Total, aliran dananya Rp 5,25 miliar dari rekanan proyek, Rp 500 juta dari proyek alat kesehatan, jadi Rp 5,75 miliar fee dalam 9 bulan jabatan.
KPK Tetapkan Lima Tersangka, Semua Pintu Masuk Fee Sudah Terpetakan
Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang tersangka, yang jika disusun berdasarkan rantai distribusi fee, daftar lengkapnya seperti ini:
1. Ardito Wijaya, Bupati Lampung Tengah 2025–2030 (diduga otak utama)
2. Riki Hendra Saputra, Anggota DPRD, sekaligus pengumpul fee dari rekanan
3. Ranu Hari Prasetyo, Adik Ardito, diduga sebagai penampung aliran dana
4. Anton Wibowo, Plt Kepala Bapenda, pengatur lelang alkes
5. Mohamad Lukman Sjamsuri, Direktur PT Elkaka Mandiri, pihak pemberi suap
Pola hubungan kelimanya menunjukkan model klasik korupsi daerah yakni kekuasaan lokal, tim sukses, keluarga, dan kontraktor yang tahu cara berinvestasi pada Kepala Daerah yang baru dilantik.
Bagi KPK, Lampung Tengah hanyalah satu dari banyak kabupaten yang anggarannya besar dan tata kelolanya rapuh. Tapi untuk warga Lampung Tengah adalah Bupati yang baru menjabat belum sempat menunjukkan kinerja, sudah lebih dulu menunjukkan naluri berburu fee proyek.
Kalau biasanya pejabat korup itu pemanasan dulu, Ardito justru memilih langsung tancap gas lari sprint hingga akhirnya tersandung KPK.
Dan KPK pun, seperti biasa, tinggal menunggu siapa lagi yang akan ikut terseret dari lingkaran pemodal dan rekanan proyek. Karena dalam drama korupsi, babak pertama hanyalah permulaan masuknya pelaku dan kasus kembangan lainnya.






