Celios: Potensi Kerugian Negara Capai Rp7,68 Triliun per Tahun Akibat Tarif Impor Nol Persen untuk Produk AS
Oleh Redaksi Moralita — Jumat, 18 Juli 2025 09:18 WIB; ?>

Direktur Eksekutif Center if Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Jakarta, Moralita.com – Center of Economic and Law Studies (Celios) memperingatkan adanya potensi kerugian negara hingga mencapai Rp7,68 triliun per tahun akibat pemberlakuan tarif impor nol persen untuk produk-produk asal Amerika Serikat (AS). Analisis ini berdasarkan pengolahan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa kebijakan pembebasan bea masuk untuk sejumlah komoditas dari AS berisiko tinggi terhadap neraca perdagangan Indonesia. Di sisi lain, produk ekspor Indonesia ke AS masih dikenakan tarif bea masuk hingga 19 persen.
“Secara hitungan ekonomi, Indonesia berpotensi mengalami kerugian karena skema tarif nol persen ini tidak diimbangi dengan perlakuan tarif yang setara untuk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat,” ungkap Bhima kepada media, Kamis (17/7).
Bhima menjelaskan, sejumlah komoditas impor dari AS yang akan mengalami peningkatan mencakup minyak dan gas (migas), produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia, serta produk farmasi. Selama tahun 2024, nilai total impor untuk lima kelompok produk tersebut tercatat mencapai USD 5,37 miliar atau setara Rp87,3 triliun.
“Khususnya yang perlu diawasi ketat adalah pelebaran defisit migas, karena ini punya dampak luas terhadap stabilitas ekonomi nasional,” tegasnya.
Bhima memperkirakan bahwa lonjakan impor migas dapat memberikan tekanan signifikan terhadap nilai tukar rupiah, sekaligus menyebabkan peningkatan drastis dalam alokasi subsidi energi dalam postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026.
“RAPBN 2026 mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp203,4 triliun, namun jumlah tersebut dinilai tidak memadai. Kami memperkirakan kebutuhan subsidi bisa meningkat hingga Rp300–320 triliun, terutama jika ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) dan LPG terus membesar,” ujarnya.
Dalam konteks tersebut, Bhima menekankan pentingnya percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Tanpa upaya transformatif dalam kebijakan energi, beban fiskal negara akan terus meningkat.
“Jika Indonesia diwajibkan membeli minyak mentah dan LPG dari AS dengan harga lebih tinggi dari harga pasar yang biasanya dijangkau oleh Pertamina, maka situasi akan semakin sulit. Ini saat yang tepat untuk mempercepat seluruh program transisi energi,” tambahnya.
Lebih jauh, Bhima juga menyoroti dampak kebijakan tarif nol persen terhadap sektor pertanian dan pangan nasional. Menurutnya, peningkatan impor produk pertanian dari AS dapat mengancam keberlanjutan program swasembada pangan dalam negeri.
“AS akan sangat diuntungkan dari ekspor gandum ke Indonesia. Konsumen mungkin menikmati harga mie instan atau roti yang lebih murah, namun produsen pangan lokal seperti peternak susu dan koperasi akan terpukul akibat kompetisi harga dari produk impor yang bebas bea masuk,” jelasnya.
Untuk memitigasi risiko tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah segera memperluas akses pasar ekspor Indonesia ke kawasan lain, khususnya Eropa. Ia menilai pengesahan EU–Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement (EUI–CEPA) merupakan peluang strategis untuk diversifikasi pasar.
“Pemerintah tidak boleh terlalu bergantung pada pasar AS. Hasil negosiasi tarif saat ini justru menempatkan posisi Indonesia dalam keadaan yang merugikan,” pungkas Bhima.
- Author: Redaksi Moralita
At the moment there is no comment