Dipanggil DPRD, Begini Keterangan Direktur RSUD R.A Basoeni terkait Polemik Potongan Jaspel 5 Persen

Mojokerto, Moralita.com – Direktur RSUD R.A. Basoeni, dr. Rasyid Salim, Sp.KJ(K), akhirnya angkat bicara terkait polemik pemotongan 5% jasa pelayanan (jaspel) yang belakangan viral diperbincangkan publik.
Dalam forum hearing bersama Komisi II DPRD Kabupaten Mojokerto, dr. Rasyid memberikan klarifikasi sekaligus membela kebijakan yang disebut-sebut menjadi sumber kegaduhan internal rumah sakit plat merah tersebut.
Bukan Potongan Tapi Kesepakatan Pegawai Sisihkan Jaspel 5%, Disebut sebagai Dana Kesejahteraan
Menurut dr. Rasyid, penyisihan 5% dari dana jaspel yang diberlakukan sejak tahun 2018 Direktur yang terdahulu bukanlah tindakan sepihak. Ia menyebutnya sebagai hasil kesepakatan internal pegawai yang ditujukan untuk mendukung dana kesejahteraan seperti bantuan sosial untuk pegawai, pembelian parcel dan Tunjangan Hari Raya (THR), serta subsidi insidentil pasien yang tak bisa bayar biaya dan tidak tercover UHC.
“Kebijakan rumah sakit manapun tidak ada seluruh pegawai mendapat THR dan parcel dari internal. RSUD RA Basoeni justru memperhatikan pegawai yang dananya bukan dari BLUD, tapi dari dana sisihkan jaspel kami sendiri,” ungkap dr. Rasyid dalam klarifikasinya pada hearing dengan Komisi II, Rabu (16/4).

Namun demikian, ia mengakui bahwa praktik ini memang tidak diatur dalam Peraturan Bupati Mojokerto Nomor 71 Tahun 2018 tentang Pemanfaatan Jasa Pelayanan BLUD, pihaknya berargumen boleh melakukan berlandaskan Fleksibilitas BLUD, dan kebijakan tersebut telah resmi dihentikan mulai tahun anggaran 2025 ini.
“Per 2025, potongan jaspel itu sudah saya hapus karena Perbup sudah mengamanahkan asas remunerasi. Kami tidak akan menganggarkan lagi THR dan parcel dari dana BLUD, semuanya kami hentikan,” tegasnya.
Dana di Rekening Hasil 5% Jaspel dari Rp 812 Juta kini tinggal Rp 200 Juta dan Pertanyaan Audit
Dalam penjelasannya, dr. Rasyid juga menyinggung soal saldo rekening Tim Kesejahteraan Pegawai yang pada 31 Desember 2024 tercatat sebesar Rp 812 juta. Dana tersebut kini tersisa sekitar Rp 200 juta karena telah digunakan untuk THR dan parcel lebaran.
“Rekomendasi BPK memang menyarankan untuk melaporkan dana tersebut kepada Bupati. Kami sudah ikuti. Hanya saja, kami masih menelusuri siapa yang membocorkan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK sebelum waktunya. Ini mencoreng program 100 hari kerja Bupati Gus Barra,” katanya.
Praktik Rangkap Jabatan Direktur dan Dokter Poli Jadi Atensi DPRD
Salah satu hal yang disorot tajam dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD adalah praktik rangkap jabatan dr. Rasyid yang aktif sebagai Direktur RSUD sekaligus dokter spesialis kejiwaan. Ia membuka praktik di poli sejak pagi hingga pukul 12.00, baru kemudian menjalankan tugas direktur.
Arif Winarko, anggota Komisi II DPRD Kabupaten Mojokerto, menilai bahwa kondisi ini mengganggu efektivitas manajerial rumah sakit.
“Semua urusan strategis dan pelayanan baru bisa dikonsultasikan di atas jam 12. Ini tidak sehat untuk komunikasi dan kecepatan pengambilan keputusan. Sebagai direktur, beliau harus lebih banyak ada di manajemen, bukan di poli,” tegas Arif Winarko.
Lebih jauh, ia menyinggung soal penerimaan ganda jaspel oleh direktur. “Uang jaspel yang diterima dari dua jabatan, struktural dan fungsional, seharusnya dipilih salah satu. Ini bisa menyedot jatah jaspel pegawai lain dan memicu kecemburuan sosial,” tambahnya.
Ketua Komisi II DPRD, Elia Joko Sambodo, menyampaikan sejumlah rekomendasi penting hasil hearing tersebut.
Pertama, meminta penghentian permanen potongan jaspel 5%. Kedua, menekankan bahwa seorang direktur harus menjalankan peran supertim bukan One Man Show. Ketiga, mendesak peningkatan mutu layanan dan transparansi keuangan.
“Kami minta laporan keuangan RSUD RA Basoeni secara menyeluruh, termasuk rincian penggunaan potongan jaspel 5% tersebut buat apa saja,” ujar Joko.
Dalam kesempatan yang sama, dr. Rasyid mengeluhkan beban biaya operasional rumah sakit. Ia menyebut break-even point (BEP) RSUD R.A. Basoeni berada di angka Rp 4 miliar per bulan. Sementara itu, klaim BPJS terhadap tindakan medis sering tidak mencukupi biaya yang dikeluarkan.
“Contohnya, tagihan dokter untuk satu tindakan mencapai Rp 3 juta, tapi BPJS hanya mengganti Rp 2 juta. Ini membuat kami harus menanggung selisihnya,” ungkapnya.
Ia juga mengusulkan agar RSUD R.A. Basoeni tidak lagi diperlakukan berbeda dengan RSUD Prof. Dr. Soekandar di Mojosari. “Kalau di sana bisa dapat fasilitas A, di sini juga harusnya dapat. Jangan ada pembedaan,” tandasnya.
Polemik di tubuh RSUD R.A. Basoeni membuka tabir manajemen keuangan dan etika birokrasi yang perlu dibenahi. DPRD Kabupaten Mojokerto menekankan pentingnya restrukturisasi internal, peningkatan mutu pelayanan, serta penghentian praktik-praktik tidak sesuai regulasi.
Sebagai rumah sakit di wilayah utara sungai Kabupaten Mojokerto, RSUD R.A. Basoeni diharapkan mampu menjadi institusi layanan publik yang sehat secara administratif, profesional dalam pelayanan, dan bersih dari potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan pegawai.