DPR RI Kaji Mendalam RUU Perampasan Aset, Ahmad Irawan Soroti Potensi Penyalahgunaan Kewenangan

Jakarta, Moralita.com – mengungkapkan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian komprehensif terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. RUU ini merupakan salah satu regulasi prioritas yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto untuk segera disahkan dalam rangka memperkuat pemberantasan kejahatan ekonomi dan tindak pidana berat lainnya.
Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta Selatan pada Jumat (23/5), Irawan menyatakan bahwa Baleg DPR masih mendalami secara intensif substansi draf RUU yang telah diajukan oleh pemerintah pada tahun 2023. Menurutnya, terdapat sejumlah catatan kritis terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam RUU tersebut, khususnya terkait perluasan objek perampasan aset.
“Jika dibaca dengan seksama, RUU ini tidak hanya mengatur perampasan aset dari pelaku tindak pidana korupsi, tetapi juga mencakup tindak pidana lainnya. Hal ini bisa dikonfirmasi melalui data dan analisis dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),” ujar Irawan.
Lebih lanjut, Irawan mengkritisi pemilihan terminologi “perampasan aset” yang dinilainya memiliki konotasi represif. Ia mengusulkan agar istilah tersebut disempurnakan menjadi “pemulihan aset” agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak sipil.
“Pemerintah tampaknya terlalu rigid dalam mengadopsi ketentuan dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC). Dalam praktik internasional, perampasan aset umumnya diberlakukan untuk pelaku yang buron atau telah meninggal dunia. Ini perlu disesuaikan dengan konteks hukum Indonesia,” paparnya.
Irawan juga menyoroti potensi kerentanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan jika RUU tersebut disahkan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Ia menekankan bahwa RUU Perampasan Aset berpotensi menjerat tidak hanya pejabat publik, tetapi juga warga sipil yang memiliki transaksi atau kekayaan yang dianggap tidak sesuai dengan profil penghasilan.
“RUU ini memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu pembuktian terperinci, sehingga jaksa berwenang melakukan penyitaan paksa meskipun seseorang belum terbukti secara hukum memperoleh kekayaannya dari tindak pidana. Ini mengaburkan asas praduga tak bersalah,” tambahnya.
Kekhawatiran utama Irawan adalah kemungkinan penyalahgunaan RUU tersebut oleh aparat penegak hukum yang memiliki afiliasi atau kepentingan politik tertentu.
“Jangan sampai undang-undang ini menjadi alat politisasi dan pembalasan. Regulasi seharusnya memuat keseimbangan antara kewenangan negara dan perlindungan hak warga negara. Mekanisme check and balance, termasuk proses klarifikasi yang adil, harus menjadi bagian integral dari regulasi ini,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Analis dari PPATK, Afdal Yanuar, menegaskan bahwa penerapan RUU Perampasan Aset hanya akan diberlakukan terhadap harta kekayaan yang telah terbukti secara hukum berasal dari tindak pidana.
“RUU ini tidak didasarkan pada dugaan semata. Prosedur hukum yang berlaku akan memastikan bahwa aset yang disita merupakan hasil dari kejahatan, bukan kekayaan legal yang sah. Dalam konteks ini, uang pengganti yang disita dimaksudkan sebagai instrumen pemulihan atas kerugian negara atau korban kejahatan,” jelas Afdal.
Pembahasan RUU Perampasan Aset ini diperkirakan akan terus menjadi perhatian publik, mengingat urgensinya dalam mendukung agenda reformasi hukum dan pemberantasan korupsi, sekaligus tantangan untuk menjaga prinsip keadilan dan hak asasi manusia dalam implementasinya.