Jakarta, Moralita.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak daerah guna mencapai target sebesar Rp48 triliun pada tahun anggaran 2025. Target tersebut mencerminkan peningkatan dari proyeksi realisasi pajak tahun 2024 yang berada pada angka Rp44,46 triliun.
Upaya pencapaian target tersebut dinilai krusial untuk mendukung agenda pembangunan strategis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Jakarta. Untuk itu, DPRD menekankan pentingnya penerapan strategi yang menyeluruh, mulai dari pengawasan intensif, pemanfaatan teknologi informasi, hingga kolaborasi lintas sektor dengan para pemangku kepentingan.
Sekretaris Komisi C DPRD DKI Jakarta, Suhud Alynudin, mengungkapkan bahwa masih terdapat sejumlah jenis pajak daerah yang belum mencapai target dalam tahun anggaran 2024. Lima jenis pajak yang dimaksud meliputi:
- Pajak Rokok, terealisasi sebesar 98,22% atau Rp883 miliar dari target Rp900 miliar;
- Pajak Air Tanah (PAT), tercapai 97,43% atau Rp87,6 miliar dari target Rp90 miliar;
- Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), tercapai 99,51% atau Rp9,9 triliun dari target Rp10 triliun;
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hanya mencapai 77% atau Rp6,1 triliun dari target Rp8 triliun;
- Pajak Alat Berat (PAB), sangat rendah, yakni hanya 2,39% atau Rp5,9 juta dari target Rp250 juta.
Terkait rendahnya capaian Pajak Alat Berat, Suhud menyoroti perlunya penguatan regulasi. Hingga saat ini, belum terdapat dasar hukum yang jelas mengenai mekanisme pemungutan PAB, padahal pajak ini memiliki dimensi koordinasi antarwilayah yang kompleks.
“Perlu disusun aturan yang lebih tegas dan operasional untuk memperjelas dasar pemungutan pajak alat berat. Ini penting agar potensi pajak yang ada tidak terabaikan,” tegas Suhud.
Mengenai capaian BPHTB yang hanya berada di angka 77 persen, Suhud menjelaskan bahwa kondisi ini dapat dimaklumi, mengingat pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 belum sepenuhnya optimal. Penurunan aktivitas ekonomi berdampak langsung pada menurunnya transaksi jual beli properti, yang menjadi basis utama penerimaan BPHTB.
“Jika ekonomi sedang melemah, otomatis transaksi rumah dan tanah ikut menurun karena nilainya besar. Itu realitas yang harus kita akui,” ujar Suhud.
Kendati demikian, Suhud tetap menyampaikan optimisme terhadap peningkatan penerimaan pajak pada tahun 2025. Target BPHTB sendiri telah dinaikkan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dari Rp8 triliun menjadi Rp8,5 triliun.
“Saya kira penting untuk terus membangun optimisme. Kita harus percaya bahwa dengan kerja keras dan kebijakan yang tepat, peningkatan pendapatan daerah, termasuk dari sektor BPHTB, sangat mungkin tercapai,” imbuhnya.
Suhud menambahkan bahwa proyeksi peningkatan ini turut didasari harapan akan membaiknya kondisi ekonomi pada tahun mendatang, yang menjadi dasar Pemprov menaikkan target pajak.
Senada dengan itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah DKI Jakarta, Lusiana Herawati, menjelaskan bahwa ketidaktercapaian target BPHTB pada tahun 2024 dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global yang belum stabil. Tingginya inflasi dan fluktuasi nilai tukar turut menyebabkan pembatalan sejumlah besar transaksi jual beli properti.
“Banyak transaksi yang tertunda atau dibatalkan karena ketidakpastian ekonomi global. Ini menjadi tantangan besar dalam mengejar target penerimaan pajak,” jelas Lusiana.
Berdasarkan data Bapenda, tercatat penurunan jumlah transaksi jual beli properti hingga 8.533 transaksi atau setara dengan penurunan 19,25 persen dibandingkan tahun 2023.
Dengan melihat tantangan tersebut, baik DPRD maupun Pemprov DKI Jakarta menilai perlu adanya sinergi dan terobosan baru dalam sistem perpajakan daerah, termasuk perbaikan tata kelola dan digitalisasi layanan pajak, guna menjamin keberlanjutan pendapatan daerah serta meningkatkan efektivitas pelayanan publik di ibu kota.
Discussion about this post