Rabu, 6 Agu 2025
light_mode
Home » News » Ekonom Ragukan Akurasi Data Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 yang Dirilis BPS

Ekonom Ragukan Akurasi Data Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 yang Dirilis BPS

Oleh Redaksi Moralita — Rabu, 6 Agustus 2025 18:17 WIB

Jakarta, Moralita.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan (year on year/yoy). Namun, sejumlah ekonom menyoroti capaian tersebut dan mempertanyakan validitas serta metodologi yang digunakan dalam penghitungan data tersebut, mengingat sejumlah indikator ekonomi dinilai tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyampaikan bahwa kredibilitas data yang dipublikasikan BPS perlu dikaji ulang, terutama terkait komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang disebut tumbuh sebesar 6,99 persen.

“Saya menyimpan keraguan atas lonjakan PMTB ini, karena saat ini sektor industri manufaktur sedang menghadapi tekanan signifikan. Logikanya, investasi dalam bentuk aset tetap tidak akan meningkat tajam ketika kondisi industrinya justru menurun,” ujar Bhima, Selasa (5/8).

Ia menambahkan bahwa salah satu indikator yang memperkuat keraguan tersebut adalah turunnya Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur dari 47,4 menjadi 46,9 pada Juni 2025, yang menunjukkan kontraksi industri. Menurut Bhima, bila PMI menurun, maka mustahil terjadi pertumbuhan industri pengolahan yang signifikan.

Baca Juga :  Klaim Pemerintah Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,12% pada Kuartal II-2025, Kontradiksi INDEF Sebut 10 Indikator Melemah

“Kalau PMI berada di bawah angka 50 dan industri sedang melakukan efisiensi serta pemutusan hubungan kerja (PHK), maka seharusnya data PMTB juga turun. Apalagi ada dampak dari isu eksternal seperti kebijakan tarif Amerika Serikat. Ini membuat data pertumbuhan industri terlihat anomali dan tidak mencerminkan realitas,” tegasnya.

Senada dengan Bhima, Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, juga mempertanyakan pertumbuhan signifikan pada komponen PMTB. Ia menyebut bahwa kredit investasi—yang menjadi indikator utama aktivitas pembelian aset tetap oleh dunia usaha—justru tengah mengalami perlambatan.

“PMTB naik drastis menjadi 7 persen di kuartal II. Padahal saat ini kredit investasi dari perbankan justru melambat, baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Biasanya, peningkatan PMTB terjadi pada kuartal III atau IV, seiring realisasi proyek konstruksi besar,” ungkap Tauhid.

Ia juga menggarisbawahi ketidakwajaran kenaikan PMTB di tengah tantangan ekonomi dan belum pulihnya sentimen investor. “Data ini perlu ditinjau ulang, karena tidak logis bila investasi melonjak saat pelaku usaha justru menahan ekspansi,” ujarnya.

Kritik juga disampaikan oleh Ekonom CELIOS lainnya, Nailul Huda, yang menyoroti ketidaksesuaian antara data pertumbuhan kuartal II dengan siklus musiman. Ia menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan kuartal I terkesan janggal, mengingat tidak adanya momen besar seperti Ramadan dan Lebaran di kuartal tersebut.

Baca Juga :  Bank Indonesia Suntik Likuiditas Perbankan Rp80 Triliun Lewat KLM, Dorong Kredit Produktif dan Pertumbuhan Ekonomi

“Biasanya, puncak pertumbuhan terjadi saat Lebaran, karena konsumsi rumah tangga meningkat tajam didorong Tunjangan Hari Raya (THR). Namun, kali ini pertumbuhan ekonomi kuartal II justru lebih tinggi tanpa ada faktor musiman yang signifikan,” kata Nailul.

Ia menyebut bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,96 persen dan berkontribusi terhadap 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Namun angka itu dinilai aneh, karena pada kuartal I konsumsi tumbuh 4,89 persen dengan stimulus Lebaran, tetapi pertumbuhan ekonomi hanya di angka 4,87 persen.

“Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa konsumsi tumbuh lebih tinggi saat tidak ada momen pengeluaran besar? Ini menambah kejanggalan dalam data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS,” jelas Nailul.

Lebih lanjut, Nailul juga mengkritisi pertumbuhan sektor industri pengolahan yang dilaporkan mencapai 5,68 persen pada kuartal II-2025. Menurutnya, pertumbuhan tersebut bertolak belakang dengan tren pelemahan PMI yang terus berada di bawah 50 poin dari April hingga Juni, menandakan sektor manufaktur masih berada dalam fase kontraksi.

Baca Juga :  Kemiskinan di Madura Masih Tinggi, Pemprov Jatim Salurkan Bantuan dan Perkuat Program Sosial

“Jika indikator PMI menurun dan dunia usaha menghadapi tekanan biaya serta ekspor yang melemah, maka seharusnya sektor industri juga tidak menunjukkan pertumbuhan tinggi. Ini menimbulkan pertanyaan atas metodologi yang digunakan dalam menghitung nilai tambah sektor industri,” kata Nailul.

Melihat berbagai kejanggalan tersebut, para ekonom meminta BPS untuk memberikan penjelasan yang lebih transparan terkait metodologi perhitungan, asumsi data, dan indikator yang digunakan dalam menyusun angka pertumbuhan ekonomi nasional.

“BPS perlu membuka secara detail formula dan indeks yang digunakan dalam menarik angka nilai tambah bruto sektoral maupun dari sisi pengeluaran. Klarifikasi ini penting agar publik dan pembuat kebijakan bisa membuat keputusan berdasarkan data yang benar-benar akurat dan mencerminkan kondisi ekonomi riil,” pungkas Nailul.

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less