IPW Desak Kapolri Terbitkan Larangan Penangkapan Pengguna Narkoba, Sebut Mereka sebagai Korban
Jakarta, Moralita.com – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mendesak Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera menerbitkan surat edaran resmi yang melarang aparat kepolisian menangkap pengguna narkotika. Menurut Sugeng, langkah ini mendesak dilakukan demi menyesuaikan kebijakan penegakan hukum dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pemulihan.
Pernyataan Sugeng disampaikan melalui keterangan tertulis pada Jumat (25/7), menyusul pernyataan sejumlah pemangku kebijakan hukum di tingkat nasional yang mengklasifikasikan pengguna narkotika sebagai korban, bukan pelaku kriminal.
“Kepolisian harus konsisten. Penyalahguna atau pengguna narkoba tidak dapat dihukum pidana, melainkan wajib menjalani rehabilitasi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” tegas Sugeng.
Desakan IPW ini merespons pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol. Marthinus Hukom, yang sebelumnya menegaskan bahwa pengguna narkoba merupakan korban jaringan pengedar. Dalam kuliah umum di Universitas Udayana, Bali, pada 15 Juli 2025, Marthinus menyatakan bahwa aparat BNN tidak boleh melakukan penangkapan terhadap pengguna narkoba, termasuk yang berasal dari kalangan publik figur.
Senada dengan itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Prof. Yusril Ihza Mahendra, juga menyampaikan bahwa pemerintah sedang mengupayakan reformasi penanganan kasus narkoba agar pengguna tidak lagi dipidana, melainkan diarahkan ke jalur rehabilitasi. Hal ini sejalan dengan perubahan pendekatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang menempatkan pengguna narkotika dalam kategori korban, bukan pelaku kejahatan.
Sugeng menilai, agar kebijakan tersebut dapat dijalankan secara konsisten di lapangan, Kapolri perlu mengeluarkan surat edaran resmi kepada seluruh satuan di bawahnya, khususnya jajaran Direktorat Narkoba.
“Perlu ada arahan tegas dari Kapolri agar anggota Satuan Narkoba tidak lagi menangkap pengguna narkoba. Jika masih terjadi penyimpangan, maka anggota yang bersangkutan harus diberikan sanksi etik dan disiplin,” ujar Sugeng.
Menurutnya, ketidakjelasan kebijakan di tingkat operasional kerap menimbulkan penyalahgunaan kewenangan di lapangan. IPW, kata Sugeng, banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai praktik intimidasi yang dilakukan oknum polisi kepada keluarga pengguna narkoba yang ditangkap.
“Melalui pengacara yang ditunjuk oleh oknum, keluarga korban ditekan untuk membayar uang puluhan hingga ratusan juta rupiah agar tidak dijerat pasal pengedar, yang ancaman hukumannya berat serta dendanya tinggi,” jelas Sugeng.
IPW juga menyoroti praktik kerja sama yang tidak transparan antara oknum aparat dan lembaga rehabilitasi swasta. Dalam sejumlah kasus, perwakilan lembaga rehabilitasi kerap hadir di lingkungan kantor polisi, seolah-olah memiliki otoritas yang sama dengan aparat.
“Mereka menekan keluarga pengguna narkoba untuk membayar biaya rehabilitasi dengan tarif yang tidak masuk akal. Padahal, banyak keluarga korban yang berasal dari kalangan tidak mampu,” ungkap Sugeng.
Ia juga menyoroti keterbatasan kapasitas lembaga rehabilitasi milik pemerintah, yang tidak mampu menampung seluruh pengguna narkoba di Indonesia. Akibatnya, antrean panjang menjadi pemandangan lazim di fasilitas rehabilitasi, dan hanya pengguna yang mampu membayar tinggi yang bisa mendapatkan layanan cepat.
IPW menegaskan bahwa paradigma penanganan kasus narkotika harus mengalami pergeseran mendasar, dari pendekatan represif menjadi pendekatan kesehatan publik dan pemulihan. Untuk itu, perlu komitmen yang kuat dari seluruh aparat penegak hukum, termasuk institusi Polri, agar tidak lagi memposisikan pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal, melainkan sebagai korban yang berhak mendapatkan perawatan dan rehabilitasi.
Reformasi kebijakan penanganan narkotika di Indonesia memerlukan keberanian struktural dan konsistensi dalam pelaksanaan. Desakan IPW ini memperkuat sinyal bahwa pendekatan represif selama ini telah menimbulkan banyak ketidakadilan dan membuka celah bagi praktik penyalahgunaan kewenangan.






