Isu Pemakzulan Wapres Gibran Mencuat, Melki Sedek Huang: Cacat Konstitusi Tak Bisa Diabaikan

Jakarta, Moralita.com – Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke ruang publik menyusul adanya surat terbuka yang dilayangkan Forum Purnawirawan TNI kepada DPR dan MPR. Forum tersebut mendesak parlemen untuk menindaklanjuti berbagai dugaan pelanggaran konstitusional yang mengiringi proses pencalonan Gibran sebagai wakil presiden dalam Pilpres 2024.
Menanggapi hal ini, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) sekaligus politisi muda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Melki Sedek Huang, menyatakan bahwa Gibran tidak dapat dilepaskan dari kontroversi hukum dan etika yang membayangi keabsahan pencalonannya.
“Dari sudut pandang kami yang tergabung dalam gerakan mahasiswa tahun 2023, Gibran Rakabuming Raka hingga kini belum menunjukkan legitimasi yang bersih secara konstitusional. Ia muncul sebagai produk dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang disebut-sebut penuh rekayasa, serta sarat dengan intervensi politik dari kekuasaan eksekutif,” ujar Melki dalam wawancaranya di kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Senin, (16/6).
Lebih lanjut, Melki mengutip pernyataan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan bahwa terdapat pelanggaran etik serius dalam proses pengambilan keputusan MK yang menjadi dasar hukum bagi Gibran untuk mencalonkan diri.
“Pernyataan ‘anak haram konstitusi’ yang dialamatkan kepada Gibran bukan datang dari saya pribadi, tetapi merupakan penilaian dari lembaga yang berwenang menilai etika hakim konstitusi, yaitu MKMK. Ketika seseorang mengawali pencalonan dengan melanggar konstitusi dan etika, maka sangat besar kemungkinan ia akan menggunakan kekuasaan dengan cara yang juga menyimpang,” tutur Melki.
Menurut Melki, sejarah politik Gibran tidak bisa dihapus begitu saja dan akan terus menjadi catatan kelam dalam demokrasi Indonesia jika tidak disikapi dengan serius oleh lembaga legislatif.
“Apa pun yang dilakukan Gibran hari ini sebagai wakil presiden, tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak masa lalunya yang mencederai konstitusi. Ini adalah preseden buruk bagi bangsa jika terus dibiarkan. Oleh karena itu, wacana pemakzulan bukanlah sesuatu yang berlebihan, melainkan bentuk koreksi konstitusional yang perlu dipertimbangkan secara serius,” tambahnya.
Melki juga menekankan bahwa pelanggaran konstitusi yang dilakukan tidak bisa diabaikan begitu saja meskipun seseorang telah menjabat di posisi tinggi dalam pemerintahan.
“Setiap langkah politik Gibran hari ini akan terus dibayangi oleh pelanggaran hukum yang pernah terjadi. Statusnya sebagai wakil presiden tidak serta merta menghapus pertanggungjawaban konstitusional tersebut. Wacana pemakzulan yang berkembang di masyarakat adalah bentuk kegelisahan publik yang sah dalam demokrasi,” pungkas Melki.