Jakarta, Moralita.com – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk segera melakukan koordinasi dengan Dewan Pers ditangkapnya Direktur Jak TV terkait penggunaan konten media sebagai alat bukti dalam perkara dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice.
Pernyataan ini menyikapi penetapan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka dalam kasus pemberitaan yang diduga digunakan untuk menggiring opini dan melemahkan penegakan hukum oleh Kejagung.
Koordinator KKJ, Erick Tanjung, dalam pernyataan tertulis yang diterima pada Rabu (23/4), menyampaikan bahwa penggunaan karya jurnalistik sebagai alat bukti dalam proses pidana harus melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Erick, langkah hukum tanpa melibatkan Dewan Pers akan menciptakan preseden negatif yang berpotensi mengancam ekosistem kebebasan berekspresi.
“Pengabaian terhadap mekanisme penilaian etik dari Dewan Pers berpotensi mengafirmasi indikasi praktik kriminalisasi terhadap ruang kebebasan pers dan ekspresi,” ujar Erick.
Di sisi lain, KKJ menegaskan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Kejaksaan Agung. Namun, Erick menekankan bahwa aparat penegak hukum harus cermat dalam menggunakan instrumen hukum pidana, seperti Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, agar tidak disalahgunakan sebagai pasal karet untuk membungkam kritik publik.
“Pasal 21 UU Tipikor memang bisa digunakan untuk menjerat tindakan yang menghalangi proses penyidikan, namun jika digunakan tanpa kehati-hatian, bisa berisiko menjadi alat untuk membungkam kritik yang sah terhadap institusi negara,” lanjutnya.
Erick juga mengingatkan para jurnalis untuk tetap menjaga etika, profesionalisme, dan independensi dalam menjalankan tugas. Ia menegaskan bahwa kebebasan pers bukanlah pembenaran untuk menyalahgunakan profesi.
“Jurnalis harus menolak segala bentuk suap, tekanan, dan intervensi. Kebebasan pers yang sehat hanya bisa terwujud jika kita menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik,” tegas Erick.
Menanggapi polemik tersebut, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar, menegaskan bahwa penetapan Tian Bahtiar sebagai tersangka tidak berkaitan dengan sikap antikritik terhadap media.
“Kejaksaan tidak pernah antikritik. Kami menghargai peran media sebagai pilar demokrasi. Namun dalam kasus ini, yang terjadi adalah pemufakatan jahat untuk merintangi penyidikan, bukan semata konten kritis,” ujar Harli dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (22/4).
Menurut Harli, Tian Bahtiar diduga menyalahgunakan posisinya sebagai Direktur Pemberitaan Jak TV untuk menyebarkan narasi yang bertujuan menggiring opini negatif terhadap penanganan perkara korupsi yang tengah dilakukan Kejagung. Harli menegaskan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara pribadi tanpa kontrak resmi dengan institusi media.
“Dia menerima dana dalam kapasitas pribadi, bukan atas nama perusahaan, dan tidak memiliki kontrak kerja sama secara tertulis dengan Jak TV,” ungkap Harli.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyampaikan bahwa penyidik menemukan cukup bukti adanya pemufakatan antara Tian Bahtiar, Marcella Santoso, dan Junaedi Saibih.
Ketiganya diduga merancang dan menyebarkan narasi negatif terkait dua perkara besar: korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha PT Timah, serta importasi gula atas nama tersangka Tom Lembong.
Dalam penyidikan, Marcella disebut meminta Junaedi untuk merancang narasi yang melemahkan kredibilitas Kejagung. Selanjutnya, Tian diminta untuk menyebarkan narasi tersebut melalui pemberitaan.
“Lebih dari itu, kami juga temukan upaya pendanaan terhadap aksi demonstrasi dan seminar yang didesain untuk membentuk opini publik negatif tentang Kejaksaan,” ujar Qohar.
Menurut Kejagung, tindakan ini merupakan bentuk konkret dari upaya sistematis untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian hukum yang sedang berjalan.
Discussion about this post