LHKPN Direktur Utama BPR Majatama Mojokerto Punya Utang Hampir 2 Miliar, Sisa Harta 6 Juta

Mojokerto, Moralita.com – Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan oleh Tri Hardianto, Direktur Utama BPR Majatama Mojokerto BUMD milik Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Laporan periodik tahun 2024 yang disampaikan pada 26 Maret 2025 nilai kekayaan bersih yang dilaporkan hanya tersisa Rp6.019.580.
Dari total aset sebesar Rp1.993.006.580, Tri Hardianto tercatat memiliki total utang mencapai Rp1.986.987.000. Ketimpangan mencolok ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kepatutan dan kelayakan jabatan yang ia emban sebagai pimpinan tertinggi sebuah entitas perbankan daerah.

Keseimbangan Finansial Pribadi Seorang Direksi Bank
Ketua Ormas FKI-1 Mojokerto, Wiwit Hariyono menjelaskan sebagai pucuk pimpinan lembaga keuangan publik, integritas, kehati-hatian finansial, serta kapasitas pengelolaan risiko pribadi adalah bagian tak terpisahkan dari uji kelayakan jabatan.
“Direktur bank yang mengalami krisis likuiditas personal justru dapat menjadi liabilitas institusional, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, dan membuka celah penyalahgunaan kewenangan pada lembaga yang ia pimpin,” jelas Wiwit kepada Moralita.com, Senin (16/6).
Menurutnya, berdasarkan analisis terhadap POJK Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan, terdapat beberapa pasal yang relevan dan memenuhi unsur pelanggaran dalam konteks laporan LHKPN Direktur Utama PT BPR Majatama, Tri Hardianto, yang menunjukkan kondisi kekayaan bersih hanya sebesar Rp 6juta dengan total utang hampir menyamai nilai asetnya.
1. Pasal 4 huruf c
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa Pihak Utama harus memenuhi persyaratan: integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi.
“Tri Hardianto sebagai Direktur Utama adalah Pihak Utama, sehingga harus memiliki integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi,” ucap Wiwit.
2. Pasal 6
Persyaratan reputasi keuangan paling sedikit dibuktikan dengan:
a. Tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
Wiwit mengatakan jika utang besar yang dicatat dalam LHKPN menunjukkan kondisi keuangan pribadi yang nyaris negatif (sisa Rp6 juta) dan/atau terkait dengan pinjaman bermasalah, maka syarat reputasi keuangan patut dipertanyakan.
“Hal ini akan sangat penting bila hutang tersebut bersumber dari lembaga tempat ia bekerja (BPR Majatama), atau bila ada pinjaman dengan skema tidak wajar,” katanya.
3. Pasal 7 huruf b
Menyebut persyaratan kelayakan keuangan paling sedikit dibuktikan dengan:
b. Memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan bisnis Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
“Kondisi finansial pribadi Tri Hardianto yang tercatat hampir nol dapat mengganggu kredibilitas dan kemampuan pengambilan keputusan strategis, apalagi untuk memimpin pengembangan bisnis BPR milik Pemkab Mojokerto,” jelasnya.
4. Pasal 5 huruf d
Persyaratan integritas juga meliputi: memiliki komitmen terhadap pengembangan LJK yang sehat.
Ketika Direktur Utama memiliki utang pribadi besar, ini dapat menciptakan konflik kepentingan atau godaan untuk memanfaatkan fasilitas bank demi kepentingan pribadi, sehingga menciderai prinsip tata kelola dan integritas.
Berdasarkan Pasal 31 POJK 27/2016, apabila terbukti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan di atas, maka yang bersangkutan atau LJK dapat dikenakan sanksi administratif:
~ Pembatalan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan.
~ Perintah penggantian manajemen.
~ Pencantuman dalam daftar pihak yang dilarang menjadi Pihak Utama.
~ Pencabutan izin usaha (pada kasus ekstrem).
Wiwit menyebut, jika kondisi kekayaan bersih yang sangat rendah tersebut tidak disebabkan oleh kegiatan produktif (misalnya investasi) dan/atau merupakan akibat dari pinjaman internal yang tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian perbankan, maka Tri Hardianto berpotensi melanggar Pasal 4, 5, 6, dan 7 POJK 27/2016.
OJK dan Pemerintah Kabupaten Mojokerto selaku pemegang saham patut melakukan evaluasi terhadap kelayakan jabatan, dan bila diperlukan, mengganti yang bersangkutan serta melakukan audit independen atas struktur keuangannya.
Situasi keuangan pribadi Direktur Utama dengan rasio utang hampir 1:1 terhadap aset, menimbulkan kekhawatiran:
~ Yang bersangkutan dapat terdorong untuk memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh kemudahan fasilitas kredit internal.
~ Terlibat dalam keputusan bisnis yang menyimpang dari prinsip kehati-hatian (prudential banking) demi menyelamatkan kondisi finansial pribadi.
Sebagai perusahaan milik daerah, BPR Majatama tunduk pada PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD serta prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Di dalamnya tercantum bahwa pimpinan BUMD wajib menjaga kesinambungan usaha serta menunjukkan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah.
Dengan kata lain, keteladanan dalam pengelolaan keuangan pribadi menjadi bagian dari tanggung jawab moral seorang pimpinan BUMD.
Pemegang Saham dan Pengawas Harus Bertindak
Menurut pandangan Wiwit, kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemkab Mojokerto selaku pemilik saham dan Dewan Pengawas BPR Majatama.
“Seharusnya menurut aturan, harus segera mengevaluasi menyeluruh atas integritas dan kelayakan Tri Hardianto menjabat sebagai Direktur Utama,” tegasnya.
Selain itu Pemda harus melakukan audit independen terhadap semua transaksi dan potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi akibat kondisi keuangan pribadi pejabat utamanya.
Wiwit juga menyebut harusnya dilakukan verifikasi silang antara LHKPN dan catatan internal bank, menelusuri kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian fasilitas pinjaman internal dan meninjau kembali proses fit and proper test yang telah dilakukan terhadap yang bersangkutan.
Saat dikonfirmasi terkait tudingan ini, Direktur BPR Majatama, Tri Hardianto belum memberikan keterangan resminya.
Penulis: Alief