MK Tetapkan Hanya Individu yang Berhak Laporkan Pencemaran Nama Baik, Dasco: Masyarakat Tetap Harus Jaga Etika
Oleh Tim Redaksi Moralita — Rabu, 30 April 2025 16:28 WIB; ?>

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.
JJakarta, Moralita.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan bahwa pelaporan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya dapat dilakukan oleh korban individu.
Putusan ini sekaligus menegaskan pelarangan bagi institusi negara, korporasi, profesi, maupun jabatan untuk mengajukan laporan dalam perkara serupa.
Menanggapi putusan tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa meskipun secara yuridis putusan MK bersifat final dan mengikat, masyarakat tetap harus menjaga etika dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam menyampaikan pendapat di ruang publik digital.
“Walaupun amar putusannya seperti itu, sebagai bangsa Timur yang menjunjung tinggi norma kesopanan dan etika sosial, sudah selayaknya kita tetap menjaga perilaku dalam bermedia,” ungkap Dasco dalam keterangannya kepada media di Kompleks Parlemen, Gedung Nusantara IV, Jakarta, Rabu (30/4).
Dasco menambahkan bahwa masyarakat perlu menyadari adanya batasan-batasan etis dalam berkomunikasi, meskipun kebebasan berekspresi dijamin oleh konstitusi. “Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus bersama-sama membatasi diri agar tidak melampaui norma yang berlaku, khususnya dalam menggunakan media digital,” ujarnya.
Meskipun memberikan catatan etis, Dasco menyatakan penghormatannya terhadap keputusan MK. “Keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Sebagai negara hukum, kita wajib menghormatinya,” tegasnya.
Putusan MK tersebut tercantum dalam Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh pemohon atas nama Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Dalam permohonannya, Daniel menggugat sejumlah pasal dalam UU ITE karena dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Pasal-pasal yang digugat antara lain:
Pasal 27A: Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Pasal 28 ayat (2): Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Pasal 45 ayat (4): Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000.
Pasal 45A ayat (2): Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.
Mahkamah menyatakan bahwa UU ITE harus mampu menyeimbangkan antara perlindungan terhadap martabat individu dan kebebasan berekspresi. Dalam pertimbangannya, MK menyampaikan bahwa batasan antara ranah publik dan ranah privat harus jelas agar tidak menimbulkan kekhawatiran atau chilling effect terhadap kebebasan sipil.
Lebih lanjut, MK menyoroti frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A UU ITE yang dinilai multitafsir karena tidak disertai penjelasan sebagaimana yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2023, khususnya Pasal 433 ayat (1), yang secara eksplisit menyatakan bahwa pencemaran nama baik hanya berlaku jika korbannya adalah individu.
“Ketidakjelasan batasan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A UU 1/2024 membuka ruang penyalahgunaan hukum dan berpotensi menjadi pasal karet,” demikian pertimbangan MK.
Dengan demikian, putusan MK ini diharapkan dapat menjadi landasan penting dalam mencegah kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi, sekaligus memperjelas subjek hukum yang sah dalam kasus pencemaran nama baik di ranah digital.
Artikel terkait:
- Pemerintah akan Siapkan Modal untuk Pelaku UMKM Jalankan Program Makan Bergizi Gratis
- PLN Klarifikasi: Sisa kWh dari Diskon Listrik 50 persen Tidak Akan Hangus
- Mahkamah Konstitusi Registrasi 309 Sengketa Pilkada 2024, Sidang Perdana Dimulai 8 Januari
- Alasan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah: Jeda Minimal 2 Tahun
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar