MK Tolak Gugatan Uji Materi UU HPP Terkait Kenaikan Tarif PPN
Oleh Redaksi Moralita — Senin, 18 Agustus 2025 16:58 WIB; ?>

Gedung Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, Moralita.com – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), khususnya pasal-pasal yang mengatur kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Putusan perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Kamis (14/8/2025).
“Menolak permohonan para pemohon No.11/PUU-XXIII/2025 baik di dalam provisi maupun pokok permohonan,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi MK, dikutip Senin (18/8).
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh sejumlah pihak dengan latar belakang beragam, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, pengemudi ojek daring, hingga organisasi yang bergerak di bidang kesehatan mental.
Mereka menggugat ketentuan PPN yang termuat dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP. Gugatan diajukan pada 21 Februari 2025, dengan rangkaian persidangan dimulai sejak 10 Maret 2025 sebelum akhirnya diputuskan pekan lalu.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan dalil para pemohon tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan konstitusional. Menurutnya, klaim bahwa kenaikan tarif PPN menghalangi masyarakat memperoleh kebutuhan pokok, layanan pendidikan, maupun layanan kesehatan tidak memiliki dasar hukum yang memadai.
Para pemohon juga mempermasalahkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b juncto Pasal 4 angka 2 UU HPP yang menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025, setelah sebelumnya naik dari 10 persen ke 11 persen pada 1 April 2022. Mereka menilai ketentuan tersebut tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan lain.
Namun, MK berpendapat sebaliknya. Menurut majelis hakim, perubahan tarif PPN tersebut merupakan bentuk penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan negara melalui penerimaan perpajakan. Tarif 10 persen yang berlaku sejak UU Nomor 8 Tahun 1983 dianggap sudah tidak relevan, sehingga pemerintah berwenang melakukan perubahan.
“Perubahan demikian perlu dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan negara dari penerimaan pajak yang terus meningkat,” tulis MK dalam keterangan resminya.
Putusan MK menegaskan bahwa ketentuan tarif PPN yang dapat disesuaikan dalam rentang 5–15 persen merupakan instrumen kebijakan fiskal yang bersifat fleksibel. Oleh karena itu, penerapannya harus memperhatikan kondisi ekonomi nasional, kemampuan masyarakat, dan kebutuhan fiskal negara.
“Sepanjang tetap mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat,” lanjut MK.
Lebih lanjut, MK menegaskan penetapan tarif PPN tidak bisa dilakukan sepihak oleh pemerintah. Kenaikan maupun penyesuaian tarif hanya dapat ditetapkan setelah dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
“Dengan demikian, pembentukan peraturan pemerintah sebagai pendelegasian undang-undang tetap berada dalam kerangka fungsi konstitusional DPR, sehingga masih memenuhi prinsip no taxation without representation,” tegas MK.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar