Polisi Tetapkan Tersangka Atas Menghasut Pelajar Anarkis Demo DPR, Delpedro Marhaen Lokataru
Jakarta, Moralita.com – Polisi menangkap aktivis Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim serta perwakilan gerakan mahasiswa Gejayan Memanggil, Syahdan Husein. Penangkapan diduga atas perbuatan penghasutan pelajar dalam demo DPR menimbulkan gelombang kritik lantaran dinilai mencederai prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
Delpedro ditangkap oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), sementara Syahdan dikabarkan ditangkap oleh Polda Bali. Berdasarkan keterangan saksi, setidaknya tujuh hingga sepuluh orang yang mengaku berasal dari Polda Metro Jaya mendatangi kantor Lokataru Foundation di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, pada Senin malam, (1/9), sekitar pukul 22.45 WIB.
Perwakilan Lokataru Foundation, Muzaffar, mengisahkan bahwa penangkapan berlangsung mendadak. “Seorang saksi mendengar ketukan di pintu pagar. Ketika dibuka, ada sekitar 10 orang berpakaian serba hitam yang mengaku dari Polda Metro Jaya. Mereka langsung masuk ke dalam kantor Lokataru,” ujarnya kepada Wartawan, Selasa, (2/9).
Menurut Muzaffar, aparat tersebut langsung mencari Delpedro dengan menanyakan, “Delpedro mana, Delpedro?” Sang direktur eksekutif kemudian merespons dari ruang belakang dengan berkata, “Saya Pedro!”
Aparat menunjukkan surat penangkapan tanpa memberikan penjelasan rinci mengenai isi dokumen tersebut. Polisi hanya menyebutkan bahwa Delpedro terancam hukuman lima tahun penjara dan sekaligus melakukan penyitaan terhadap beberapa barang pribadi, termasuk sebuah laptop. Selanjutnya, Delpedro dibawa menggunakan mobil Suzuki Ertiga berwarna putih.
Kecaman Lokataru Foundation
Lokataru Foundation segera merilis pernyataan resmi yang mengecam keras penangkapan ini. Dalam siaran pers yang diunggah melalui akun Instagram resmi @lokataru_foundation, lembaga tersebut menilai tindakan aparat sebagai bentuk kriminalisasi yang bertujuan membungkam kritik publik.
“Delpedro Marhaen adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk bersuara, berkumpul, dan menyampaikan pendapat secara damai. Penangkapan sewenang-wenang terhadap dirinya bukan hanya bentuk kriminalisasi, tetapi juga upaya membungkam kritik publik,” tulis pernyataan tersebut.
Lokataru menekankan bahwa negara seharusnya menjamin perlindungan atas kebebasan sipil dan politik. Mereka menyebut penangkapan ini sebagai bagian dari tren represif aparat terhadap masyarakat sipil, khususnya setelah serangkaian demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini.
Haris Azhar, pendiri Lokataru Foundation, membenarkan bahwa selain Delpedro, satu anggota Lokataru lainnya juga turut ditangkap. “Betul semalam/dini hari (ditangkap) di kantin Polda,” ungkap Haris melalui pesan singkat.
Penangkapan Aktivis di Bali
Pada saat yang hampir bersamaan, kabar penangkapan Syahdan Husein juga mencuat. Informasi ini pertama kali diumumkan melalui akun Instagram @gejayanmemanggil, @basuara, @bangsamahardika, dan @pasifisstate.
“Lagi-lagi ada kawan kita yang dijemput paksa. Kali ini Syahdan Husein yang dijemput paksa oleh Polda Bali,” tulis pernyataan kolektif tersebut.
Namun demikian, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Bali, Komisaris Besar Ariasandy, membantah adanya penangkapan tersebut. “Tidak ada,” tegasnya saat dikonfirmasi wartawan melalui pesan singkat, Selasa, (2/9)
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Delpedro ditangkap dengan sangkaan melanggar Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 15, Pasal 76H, dan Pasal 87 Undang-Undang Perlindungan Anak, serta Pasal 45A Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang cukup terkait ajakan provokatif untuk melakukan aksi anarkistis.
“Tentunya sudah lebih dahulu (DMR) ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Ade Ary Syam Indradi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Ia menjelaskan, Delpedro Marhaen diduga menghasut dan menyebarkan ajakan provokatif yang berujung pada aksi anarkistis di sekitar Kompleks Parlemen dan sejumlah wilayah lain di Jakarta.
Menurut Ade Ary, dugaan tindak pidana itu dilakukan sejak 25 Agustus 2025. Bahkan, ajakan tersebut melibatkan pelajar dan anak di bawah umur 18 tahun yang kemudian ikut dalam kericuhan.
“Saudara DMR diduga melakukan tindak pidana menghasut untuk melakukan pidana dan/atau menyebarkan informasi elektronik yang diketahuinya membuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan dan keresahan di masyarakat, dan/atau merekrut serta memperalat anak,” kata dia.
Ade Ary menambahkan, ajakan yang disampaikan Delpedro Marhaen bukan untuk demonstrasi damai, melainkan provokasi untuk melakukan aksi anarkistis. Namun, polisi belum membeberkan detail isi ajakan tersebut karena masih dalam tahap pendalaman, termasuk konten yang disebarkan melalui media sosial.
Kuasa hukum sekaligus juru bicara tim advokasi Lokataru, Fian Alaydrus, menilai proses hukum yang dijalankan aparat kepolisian terhadap Delpedro Marhaen tidak sesuai dengan ketentuan prosedural sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Dalam konteks penangkapan sahabat kami, Delpedro, prosedur yang dijalankan aparat jelas menyalahi ketentuan KUHP,” ujar Fian Alaydrus di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (2/9).
Menurutnya, sebelum dilakukan penangkapan, seharusnya ada tahapan pemeriksaan awal atau pemanggilan resmi. Namun, polisi justru langsung menetapkan Delpedro sebagai tersangka tanpa mekanisme tersebut. Bahkan, tuduhan penghasutan yang disematkan kepadanya juga dinilai tidak memiliki dasar yang jelas.
“Secara prosedural ini sudah keliru. Tidak ada proses awal, tidak ada kroscek silang antara pihak yang diduga menghasut dan yang dihasut. Polisi juga gagal menunjukkan bukti awal yang memadai,” tegasnya.
Lebih lanjut, Fian menjelaskan, unggahan di akun media sosial Lokataru yang dijadikan dasar tuduhan oleh aparat justru merupakan bagian dari upaya pendidikan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) kepada publik. Dengan demikian, ia menilai tuduhan tersebut tidak relevan.
“Itu bentuk pendidikan demokrasi. Menyebutnya sebagai penghasutan untuk penjarahan atau kerusuhan jelas tidak berdasar,” kata Fian.
Ia menegaskan, penetapan tersangka terhadap Delpedro merupakan indikasi kemunduran demokrasi di Indonesia. “Ini sungguh amat kejam, sekaligus bentuk kemunduran demokrasi yang paling jauh,” imbuhnya.
Selain Delpedro, polisi juga menangkap staf Lokataru Foundation, Muzaffar Salim, pada Selasa dini hari dengan tuduhan yang sama. Penangkapan tersebut, menurut Fian, juga dilakukan tanpa pemanggilan maupun pemeriksaan pendahuluan.






