Mojokerto, Moralita.com – Pernyataan kalimat tudingan dari media sosial Direktur BPR Majatama, Tri Hardianto dengan frasa ‘Mohon maaf atas berita-berita yang tidak bertanggung jawab selama ini’ mendapat respon dari praktisi hukum.
Praktisi hukum dan pengacara senior Peradi, Paidi Widodo, SH, MH menyebut pernyataan Direktur BPR Majatama tersebut mempunyai implikasi hukum serius, terutama apabila dianggap sebagai bentuk serangan atau tudingan terhadap media atau jurnalis yang menjalankan fungsi kontrol publik.
Paidi Widodo menyebut hal tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 8: Dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum.
Pasal 18 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500juta.

“Jika frasa tersebut dimaknai sebagai bentuk penghalangan fungsi pers, maka bisa dinilai sebagai intimidasi atau pelemahan independensi pers, apalagi bila diarahkan kepada media yang tengah menyuarakan temuan publik atau hasil investigasi masyarakat sipil seperti ormas FKI-1,” jelas Paidi Widodo kepada Moralita.com di kantornya, Selasa (27/5).
Hal tersebut juga berpotensi melanggar pasal Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan UU ITE.
Pasal 310 KUHP: Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu, dengan maksud supaya hal itu diketahui umum, dapat dipidana penjara 9 bulan (lisan) atau 1 tahun 4 bulan (tertulis).
Pasal 27 ayat (3) UU ITE (Nomor 1 Tahun 2024): Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dipidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Menurutnya, apabila pihak media atau jurnalis merasa dirugikan dan dapat membuktikan bahwa pernyataan tersebut merujuk pada mereka, maka unsur pencemaran nama baik atau fitnah dapat terpenuhi, khususnya jika disebarluaskan secara elektronik atau digital seperti dalam unggahan media sosial.
Menurut etika bisnis dan prinsip Good Corporate Governance (GCG) karena BPR Majatama merupakan BUMD milik Pemkab Mojokerto, pernyataan resmi pimpinan lembaga seharusnya netral, faktual, dan tidak menyudutkan pihak mana pun tanpa dasar hukum.
Menurut Paidi kalimat yang dilontarkan pimpinan lembaga dibaaah naungan pemerintah seperti ‘berita tidak bertanggung jawab’ jika tidak didukung klarifikasi atau bukti hukum yang kuat, justru akan:
- Memicu konflik hukum terbuka.
- Menurunkan kredibilitas lembaga.
- Menciptakan persepsi publik bahwa institusi anti terhadap kritik dan pengawasan.
Paidi menjelaskan seharusnya Direktur BPR Majatama melakukan Koreksi atau Klarifikasi. “Direktur BPR Majatama seharusnya mengeluarkan klarifikasi terbuka agar tidak terjadi multitafsir dan tidak menyudutkan media sebagai institusi pengontrol,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan kepada media yang merasa dirugikan dapat menggunakan hak jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Pers.
“Apabila dianggap telah memenuhi unsur pencemaran nama baik atau ancaman pers, media atau jurnalis dapat melaporkan ke pihak kepolisian dengan membawa bukti,” lontarnya.
Dalam penjelasannya, pengacara Peradi kawakan ini menyebut dalam frasa ‘mohon maaf atas berita-berita yang tidak bertanggung jawab’ dalam konteks pengumuman pimpinan lembaga publik seperti BPR Majatama, berisiko mengandung muatan hukum apabila ditujukan kepada media/jurnalis tanpa dasar yang jelas.
Hal ini berpotensi menabrak UU Pers, KUHP, dan UU ITE, serta bertentangan dengan prinsip transparansi dalam tata kelola lembaga keuangan milik daerah.
“Langkah profesional yang lebih bijak adalah membuka ruang dialog dan klarifikasi publik, bukan menyalahkan media yang menjalankan fungsinya dalam demokrasi,” tandasnya.
Discussion about this post