Mojokerto, Moralita.com – Hasil investigasi proses pengangkatan Direktur dan Komisaris pada BPR Majatama pada 2024 ditemukan fakta kejanggalan dari kalangan praktisi perbankan. Sejumlah kejanggalan administratif dan indikasi pelanggaran regulasi yang berlaku memicu analisis kritis dari para pengamat keuangan dan ahli tata kelola kelembagaan.
Secara normatif, pengangkatan Direktur dan Komisaris BPR wajib tunduk pada ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), prinsip Good Corporate Governance (GCG), serta standar kompetensi jabatan yang ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) BPR.
Ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip tersebut tidak hanya menciderai etika profesionalisme GCG, tetapi juga dapat berimplikasi serius terhadap keabsahan keputusan Pemerintah Daerah pada salah satu BUMD ini, termasuk potensi pembatalan pengangkatan oleh otoritas regulator.
Analisis Praktisi Perbankan terhadap Proses Pengangkatan Direktur BPR Majatama.
Menurut Analisa Praktisi Lembaga Keuangan Surabaya, M. Ichwan, yang dikenal luas memiliki pengalaman dalam bidang kredit perbankan dan manajemen SDM, mengemukakan analisis hukum atas proses seleksi dan pengangkatan Direktur BPR Majatama.
Berdasarkan dokumen resmi Panita Seleksi Pemilihan Calon Komisaris dan Direktur PT. BPR Majatama Perseroda dengan Nomor 500/387/416-022/2024 yang ditanda tangani oleh Teguh Gunarko, terdapat tiga kandidat Direktur yang mengikuti tahapan seleksi sejak Februari 2024, yakni Heri Mukti Wibowo, Masruroh, Yuni Artinah dan juga sebagai kandidat Komisaris yakni Poedji Widodo, Nurul Istiqomah, Arie Jacob Manuhutu.
Namun, merujuk pada dokumen daftar pemegang sertifikasi yang dikeluarkan oleh LSP BPR, hanya Heri Mukti Wibowo yang terverifikasi memiliki Sertifikat Kompetensi Direktur Tingkat 1, yang berlaku hingga 15 November 2027.

Sementara itu, Masruroh hanya memiliki sertifikat Pelaksana Eksekutif (PE) yang secara hierarki tidak setara dengan jabatan direktur dan Yuni Artinah bahkan tidak tercatat memiliki sertifikasi apapun.
“Terlihat manipulatif, meloloskan 3 kandidat yang tak sama kompetensinnya sebagai Direktur, hanya Heri Mukti Wibowo yang mempunyai sertifikasi administrasi, secara jelas menyalahi prinsip meritokrasi dan keadilan kompetitif antar calon kandidat,” jelas Ichwan.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa berdasarkan POJK Nomor 62/POJK.03/2020 pasal 20 dan 25 serta standar operasional prosedur LSP BPR/BPRS, seorang calon Direktur BPR/BPRS wajib memiliki sertifikat jabatan sesuai posisi yang dilamar.
Dengan demikian, meloloskan calon yang tidak memiliki sertifikasi merupakan tindakan yang tidak sah secara hukum dan dapat menjadi dasar pembatalan administratif.
“Fakta bahwa hanya satu dari tiga kandidat Direktur yakni Heri Mukti Wibowo yang memenuhi syarat dasar, menunjukkan indikasi kuat adanya rekayasa administratif, yang secara substansial dapat digolongkan sebagai maladministrasi,” tegas Ichwan.
Kejanggalan Pengangkatan Komisaris, Sertifikat Terbit Setelah SK.
Menurut pria yang saat ini juga menjabat sebagai Manager salah satu lembaga keuangan dibawah kendali Himbara ini juga menyoroti ketidaksesuaian waktu antara sertifikasi dan pengangkatan Poedji Widodo sebagai Komisaris BPR Majatama.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Mojokerto Nomor 188.45/86/HK/416-012/2024 tertanggal 26 Maret 2024, Poedji Widodo ditunjuk sebagai calon Komisaris. Namun, berdasarkan daftar resmi pemegang sertifikasi, sertifikasi Komisaris atas nama Poedji Widodo baru diterbitkan pada 20 Juni 2024, hampir tiga bulan setelah terbitnya SK Bupati tersebut.
“Secara logika administratif, ini membalik urutan kausal yang seharusnya. Seseorang harus terlebih dahulu memenuhi syarat kompetensi dahulu sebelum diangkat dalam jabatan publik. Jika tidak, maka keputusan tersebut cacat secara prosedural,” ujar sosok yang juga menjabat senagai manajer salah satu lembaga keuangan dibawah Bank Himbara ini.
Lebih lanjut, Ichwan menambahkan bahwa ketentuan dalam POJK No. 62/POJK.03/2020 pasal 33 secara eksplisit menyatakan bahwa calon Komisaris wajib memiliki sertifikasi dari LSP sebelum menjalankan fungsi dan kewenangannya.
Ironisnya, menurut informasi yang dihimpun, terdapat kandidat lain, yakni Nurul Istiqomah, yang telah lebih dahulu memiliki sertifikasi Komisaris, namun justru tidak terpilih menjadi Komisaris. Hal ini menimbulkan dugaan adanya intervensi non-kompetitif yang berpotensi mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Mencermati seluruh kejanggalan administratif yang teridentifikasi dalam proses pengangkatan Direktur dan Komisaris BPR Majatama, M. Ichwan merekomendasikan:
1. Dilakukannya pengujian legalitas hasil RUPSLB BPR Majatama pada 2024 secara hukum dan administratif.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu segera melakukan klarifikasi dan investigasi mendalam terhadap proses seleksi berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan 33 POJK No. 62/POJK.03/2020.
3. Diperlukan audit menyeluruh, terutama terhadap waktu perolehan sertifikasi dan dugaan manipulasi dalam tahapan seleksi.
Ia menyebut tindakan korektif oleh Bupati Mojokerto selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP), termasuk pembatalan pengangkatan jabatan yang tidak sah, perlu segera ditempuh demi menjaga integritas sektor lembaga keuangan milik Pemkab Mojokerto.
“Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan milik Pemkab Mojokerto ini tidak jatuh,” tandasnya.
Discussion about this post