Presiden Prabowo Berikan Amnesti kepada Hasto dan Abolisi untuk Tom Lembong, DPR Setuju, Pegiat Antikorupsi Kritik Keras
Oleh Redaksi Moralita — Jumat, 1 Agustus 2025 09:11 WIB; ?>

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.
Jakarta, Moralita.com – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto resmi memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, serta abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), yang sebelumnya divonis dalam kasus dugaan korupsi. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, sekaligus menjadi sorotan tajam dari pegiat antikorupsi.
Amnesti merupakan kewenangan konstitusional Presiden untuk memberikan pengampunan terhadap tindak pidana, sedangkan abolisi merupakan hak kepala negara untuk menghentikan proses hukum atau penuntutan terhadap seseorang sebelum atau sesudah perkara disidangkan. Kendati demikian, kedua bentuk pengampunan ini mensyaratkan konsultasi dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam, menyampaikan bahwa DPR telah memberikan persetujuan atas dua surat resmi Presiden yang diajukan pada 30 Juli 2025.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R-43/Pres/07/2025 terkait pemberian abolisi kepada saudara Tom Lembong, dan Surat Presiden Nomor R-42/Pres/07/2025 terkait pemberian amnesti terhadap 1.116 terpidana, termasuk di dalamnya saudara Hasto Kristiyanto,” kata Dasco.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa usulan pemberian amnesti dan abolisi tersebut berasal darinya dan telah disetujui oleh Presiden Prabowo. Ia menyebut bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya membangun persatuan nasional menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang.
“Salah satu pertimbangannya adalah demi menciptakan suasana persatuan dalam rangka perayaan kemerdekaan. Kita bersyukur seluruh fraksi di DPR telah sepakat, tinggal menunggu penerbitan Keputusan Presiden,” kata Supratman.
Ia menegaskan bahwa dengan terbitnya abolisi, maka seluruh proses hukum terhadap Tom Lembong akan dihentikan. Selain Hasto, terdapat 1.168 narapidana lainnya yang juga mendapatkan amnesti, termasuk mereka yang terjerat perkara penghinaan terhadap Presiden.
“Presiden sejak awal sudah menyatakan bahwa beberapa kasus tertentu akan diberi amnesti, salah satunya termasuk kasus penghinaan terhadap Presiden,” imbuhnya.
Tom Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi terkait kebijakan impor gula saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Sementara Hasto Kristiyanto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara dalam perkara suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang berkaitan dengan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif PDIP Harun Masiku—yang hingga kini masih menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kendati telah memperoleh persetujuan politik, kebijakan pemberian amnesti dan abolisi tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama dari komunitas antikorupsi. Salah satunya datang dari IM57+ Institute, organisasi yang didirikan oleh mantan pegawai KPK.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyebut keputusan Presiden tersebut sebagai bentuk “pengakalan hukum” yang terang-terangan, dan menganggapnya sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Ini adalah bentuk terang-benderang dari upaya mengakali hukum yang berlaku. Penyelesaian kasus korupsi melalui kesepakatan politik jelas merupakan pengkhianatan terhadap rakyat dan konstitusi,” tegas Lakso melalui keterangan tertulis.
Menurut Lakso, langkah Presiden ini justru memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan mengindikasikan bahwa komitmen pemberantasan korupsi hanya menjadi retorika politik semata.
“Ke depan, politisi tidak akan takut lagi melakukan korupsi karena tahu bisa diselesaikan di meja politik. Ini mengarah pada rule by law, bukan rule of law. Hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kasus Hasto yang penanganannya memakan waktu panjang dan penuh tekanan. Bahkan, sejumlah penyidik yang terlibat dalam perkara tersebut diberhentikan secara sepihak.
“Presiden seharusnya memperkuat institusi penegak hukum, bukan malah melemahkannya dengan memberi pengampunan kepada tokoh yang kasusnya penuh kontroversi dan intervensi politik,” tambahnya.
Lakso menyerukan agar masyarakat sipil, lembaga independen, dan seluruh elemen bangsa menyuarakan penolakan terhadap keputusan Presiden tersebut. Ia mengingatkan bahwa jika tindakan seperti ini dibiarkan, maka keadilan substantif akan dikorbankan demi kompromi politik sesaat.
“Jika tindakan ini tidak ditolak secara luas, maka bangunan hukum di Indonesia akan runtuh, digantikan oleh praktik legalistik yang manipulatif. Ini pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan supremasi hukum,” pungkasnya.
- Author: Redaksi Moralita
At the moment there is no comment