Government

Presiden Prabowo Pastikan Proyek Tanggul Laut Raksasa Dimulai, Efektivitas dan Dampaknya Dipertanyakan

Giant Sea Wall.

Jakarta, Moralita.com – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan bahwa megaproyek Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa akan segera direalisasikan dalam waktu dekat.

Dalam pidatonya pada ajang International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Kamis (12/6), Prabowo menyatakan proyek ini akan menjadi solusi strategis untuk mengatasi ancaman abrasi pantai dan banjir rob, khususnya di wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Jakarta.

Menurut Prabowo, tanggul tersebut direncanakan membentang sepanjang 500 kilometer, mulai dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur. Proyek ini diperkirakan akan menelan biaya hingga 80 miliar dolar Amerika Serikat, atau setara Rp1.280 triliun. Ia juga mengungkapkan bahwa ide pembangunan tanggul laut raksasa ini sejatinya telah dikaji sejak tahun 1995 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Pembangunan ini bisa memakan waktu 15 hingga 20 tahun. Saya tidak tahu siapa presiden yang akan menyelesaikannya, tetapi kita harus segera memulainya,” ujar Prabowo dalam pidatonya.

Untuk mempercepat pelaksanaan proyek tersebut, pemerintah berencana membentuk sebuah lembaga khusus bernama Badan Otorita Tanggul Laut Pantura Jawa. Lembaga ini akan bertanggung jawab atas perencanaan dan pengawasan implementasi proyek di seluruh wilayah pesisir utara Pulau Jawa.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga diminta turut serta dalam proyek nasional ini. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa Pemprov Jakarta perlu mengalokasikan setidaknya Rp5 triliun setiap tahunnya untuk mendukung pembangunan tanggul laut di kawasan pesisir ibu kota. Ia menyebutkan bahwa untuk wilayah Teluk Jakarta saja, dibutuhkan dana sebesar 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp128 triliun.

Baca Juga :  Proyek Jalan Tol Probolinggo–Banyuwangi Kembali Disorot, Warga Besuki Sampaikan Keluhan ke DPRD Situbondo

Pramono menuturkan bahwa sebagian dana tersebut akan diambil dari pendapatan hasil pengolahan sampah menjadi plastik dan pengembangan energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

“Sebelumnya, Jakarta mendapat alokasi pembangunan tanggul sepanjang 12 kilometer. Kini ditambah 7 kilometer lagi, sehingga total menjadi 19 kilometer,” ujarnya dalam pertemuan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (15/6).

Gagasan pembangunan tanggul laut raksasa sejatinya telah mencuat sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pada awal Januari 2024 menyebut proyek ini sebagai solusi jangka panjang menghadapi banjir rob dan penurunan muka tanah (land subsidence) di wilayah utara Pulau Jawa.

Kawasan pesisir utara Jawa menghadapi risiko serius akibat banjir rob, yang diperkirakan dapat berdampak pada 70 kawasan industri, lima Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), 28 kawasan peruntukan industri, lima pusat pertumbuhan ekonomi, serta mengancam sekitar 50 juta jiwa penduduk. Karena urgensinya, proyek tanggul laut sempat dimasukkan dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Kritik dan Kekhawatiran dari Masyarakat Sipil

Meski pemerintah optimistis, berbagai kalangan menyampaikan kritik tajam terhadap proyek ini. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, meragukan efektivitas tanggul laut raksasa dalam menjawab persoalan utama.

“Penurunan muka tanah bukan sekadar akibat naiknya air laut, tetapi disebabkan oleh alih fungsi lahan di daratan—dari persawahan atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi pusat perbelanjaan atau apartemen,” kata Susan, Selasa (17/6).

Baca Juga :  BPK Temukan Ketidaksesuaian Spesifikasi pada 15 Proyek Konstruksi di Probolinggo, Potensi Kerugian Negara Capai Rp1,35 Miliar

Susan juga menilai proyek ini sarat kepentingan politik dan ekonomi, serta rawan menjadi ajang pembagian kekuasaan dan anggaran melalui pembentukan badan otorita khusus. Ia juga menyoroti potensi kerusakan lingkungan dan dampak sosial-ekonomi terhadap nelayan, karena proyek ini membutuhkan volume besar pasir laut untuk proses penimbunan.

“Kerusakan lingkungan akan terjadi di dua tempat sekaligus: di lokasi pengambilan material dan di wilayah penimbunan,” tegasnya.

Studi Akademis dan  Dampak

Dalam kajian ilmiah berjudul “Pembangunan Giant Sea Wall: Bermanfaatkah bagi Masyarakat Perikanan?” (2014), akademisi Armen Zulham menyatakan bahwa proyek ini berpotensi mengurangi akses pelaku usaha perikanan terhadap sumber daya laut, pesisir, dan pasar. Ia juga menyoroti perubahan sosial, ekonomi, hingga budaya yang dapat muncul akibat pergeseran struktur penghidupan masyarakat pesisir.

Senada dengan itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyampaikan bahwa pembangunan tanggul laut tidak dapat menjadi solusi tunggal terhadap penurunan muka tanah. Sebaliknya, proyek ini dinilai dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati laut, khususnya di wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai pembanding, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkirakan bahwa kebutuhan pasir laut untuk reklamasi Teluk Jakarta pada 2021 mencapai 388,2 juta meter kubik—jumlah yang jauh lebih besar akan dibutuhkan untuk proyek tanggul sepanjang Pantura.

Penolakan Masyarakat dan Temuan Survei

Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-I) merilis survei persepsi warga Jakarta terhadap rencana pembangunan Giant Sea Wall. Hasilnya, sebanyak 56,2 persen responden menyatakan penolakan, dengan alasan utama adalah potensi kerusakan ekosistem pesisir, hilangnya mata pencaharian nelayan, dan risiko penggusuran permukiman. Sementara 43,8 persen mendukung proyek tersebut karena alasan perlindungan terhadap banjir rob dan penguatan ketahanan wilayah.

Baca Juga :  TNI AL Bongkar Pagar Laut di Perairan Tanjung Pasir Tangerang, agar Nelayan bisa Beraktivitas

Human Rights Manager DFW-I, Luthfian Haekal, menilai pembangunan tanggul laut tidak menyentuh akar permasalahan, yakni eksploitasi air tanah yang berlebihan. Ia mendorong pemerintah untuk menerapkan moratorium pembangunan dan mengalihkan anggaran proyek ke sektor kesejahteraan seperti pendidikan dan penciptaan lapangan kerja.

“Lebih baik dana sebesar itu digunakan untuk program-program kesejahteraan masyarakat. Lapangan kerja tahun ini saja sedang sulit,” ujar Luthfian.

Muhamad Karim, peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan dosen Universitas Trilogi Jakarta, mengungkapkan bahwa pembangunan tanggul laut raksasa justru dapat menimbulkan perubahan oseanografi pesisir yang kompleks. Ia menyebutkan potensi terjadinya perubahan pola arus, pasang surut, dan gelombang, terutama karena muara sungai besar yang mengalir ke pesisir utara Jawa.

“Tidak ada jaminan perlindungan maksimal terhadap pesisir melalui infrastruktur fisik seperti tanggul laut. Yang ada justru terganggunya metabolisme ekosistem alami, termasuk terumbu karang, mangrove, dan padang lamun,” ujarnya.

Meski Giant Sea Wall digadang sebagai solusi monumental terhadap ancaman banjir dan penurunan tanah, berbagai kajian ilmiah, pendapat ahli, serta aspirasi masyarakat menyoroti banyak celah dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek ini. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk menyeimbangkan urgensi pembangunan infrastruktur dengan prinsip keberlanjutan ekologi dan keadilan sosial.

Sebelumnya

Pemerintah Targetkan Penyusunan DIM RUU KUHAP Rampung Pekan Ini, Fokus pada Restorative Justice dan Perlindungan HAM

Selanjutnya

Polda Banten Tetapkan Perempuan MR sebagai Tersangka Kasus Love Scamming Digital, Rugikan Korban Puluhan Juta Rupiah

Moralita
Bagikan via WhatsApp
Share
WhatsApp