Puan Maharani Singgung Fenomena “Indonesia Gelap” hingga “Bendera One Piece” dalam Pidato Sidang Tahunan MPR 2025
Oleh Redaksi Moralita — Jumat, 15 Agustus 2025 08:14 WIB; ?>

Puan Maharani menyampaikan pidato dalam sidang Tahunan MPR RI 2025.
Jakarta, Moralita.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, menyoroti beragam fenomena sosial yang marak diperbincangkan publik, mulai dari istilah “Indonesia Gelap”, ungkapan “Kabur Aja Dulu”, hingga aksi pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI.
Pernyataan tersebut disampaikan Puan dalam pidato politiknya pada Sidang Tahunan MPR RI yang digelar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8).
“Ungkapan tersebut dapat berupa kalimat singkat seperti ‘kabur aja dulu’, sindiran tajam ‘Indonesia Gelap’, lelucon politik ‘negara Konoha’, hingga simbol-simbol baru seperti ‘bendera One Piece’, dan masih banyak lagi yang menyebar luas di ruang digital,” ujar Puan.
Menurutnya, frasa-frasa dan simbol yang beredar di media sosial itu merupakan bentuk kritik kreatif yang lahir dari pemikiran generasi muda Indonesia. Puan menilai, perkembangan teknologi dan media sosial telah menjadi sarana utama penyampaian aspirasi publik secara masif.
“Kini, kritik rakyat hadir dalam berbagai bentuk yang kreatif dan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya media sosial, sebagai corong suara publik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Puan memandang fenomena tersebut sebagai cerminan keresahan masyarakat terhadap berbagai persoalan aktual. Ia mengingatkan pemerintah agar bersikap peka terhadap dinamika sosial yang diungkapkan melalui berbagai medium komunikasi publik.
“Bagi para pemegang kekuasaan, semua suara rakyat yang kita dengar bukanlah sekadar kata atau gambar. Di balik setiap kata ada pesan. Di balik setiap pesan ada keresahan. Dan di balik keresahan itu ada harapan,” tegasnya.
Meski mengapresiasi kebebasan berekspresi, Puan menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai persaudaraan. Ia mengimbau agar kritik yang disampaikan tidak berubah menjadi alat provokasi yang memicu perpecahan, kebencian, atau kekerasan.
“Kritik dapat keras dalam substansi dan menentang kebijakan, namun bukan untuk memicu kekerasan, menebar kebencian, merusak etika dan moral masyarakat, apalagi menghancurkan kemanusiaan. Kritik harus menjadi cahaya dalam kegelapan yang menerangi jalan bersama,” pungkasnya.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar