Putusan MK Dinilai Abaikan Mandat Rakyat, DEEP Indonesia Soroti Dampak Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
Oleh Redaksi Moralita — Senin, 30 Juni 2025 13:17 WIB; ?>

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
Jakarta, Moralita.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur pemisahan antara Pemilu nasional dan Pemilu daerah diprediksi berpotensi mengabaikan mandat rakyat yang telah diberikan melalui Pemilu Serentak 2024. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, yang menyoroti implikasi konstitusional dan administratif dari Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu lokal harus dilaksanakan secara terpisah, dengan jeda waktu 2,5 tahun. Artinya, Pemilu nasional berikutnya akan digelar pada 2029, sementara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan berlangsung pada 2031.
Menurut Neni, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan anggota legislatif daerah secara non-demokratis.
“Putusan ini harus dikaji secara mendalam karena berpotensi menimbulkan kekosongan legitimasi. Misalnya, masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta gubernur, bupati, dan wali kota yang berakhir pada 2029, sedangkan pemilu lokal digelar dua tahun kemudian pada 2031. Bagaimana proses transisi jabatan akan dilaksanakan?” ujar Neni kepada media, Senin (30/6).
Neni menambahkan, jeda waktu tersebut dapat menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia mempertanyakan apakah pemerintah akan menunjuk pelaksana tugas (Plt), pejabat sementara (Pjs), atau justru memperpanjang masa jabatan pejabat yang telah habis masa baktinya.
“Jika diperpanjang, maka ada persoalan konstitusional terkait mandat rakyat. Apakah perpanjangan tersebut sah dan tidak melanggar prinsip kedaulatan rakyat?” tegasnya.
Karena itu, DEEP Indonesia mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mencari formulasi terbaik dalam menyikapi putusan MK tersebut. Menurut Neni, regulasi lanjutan harus disusun dengan mempertimbangkan prinsip akuntabilitas, partisipasi, serta perlindungan terhadap hak-hak politik warga negara.
“Jika masa jabatan diperpanjang tanpa pemilu, maka ada risiko delegitimasi terhadap jabatan publik. Ini bisa menjadi preseden buruk yang mengancam prinsip mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu demokratis,” pungkas Neni.
Putusan MK tersebut kini menjadi sorotan berbagai kalangan, terutama aktivis demokrasi dan pemerhati tata kelola pemerintahan, karena dianggap berpotensi menimbulkan ketimpangan waktu pelaksanaan dan legitimasi jabatan di tingkat pusat dan daerah.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar