Rencana Rekrutmen 24.000 Tamtama TNI AD Tuai Sorotan: Antara Pembangunan dan Profesionalisme Militer

Jakarta, Moralita.com – Rencana Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) merekrut sebanyak 24.000 prajurit Tamtama untuk mengisi Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) pada tahun 2025 menuai tanggapan beragam, termasuk kritik tajam dari berbagai kalangan. Inisiatif ini dinilai menimbulkan keraguan terhadap komitmen TNI dalam menjaga profesionalisme sebagai alat utama pertahanan negara.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana, menjelaskan bahwa Batalyon Teritorial Pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor strategis non-pertahanan, seperti pertanian, peternakan, kesehatan, dan zeni. Rencana ini, menurutnya, merupakan respons atas tingginya minat generasi muda terhadap dunia militer serta kebutuhan satuan TNI AD untuk memperkuat struktur kewilayahan.
“Data pendaftaran Tamtama TNI AD tahun 2025 mencapai 107.366 orang, dengan 38.835 calon telah tervalidasi. Ini menunjukkan antusiasme luar biasa yang juga kami sesuaikan dengan arah pembangunan pertahanan berbasis kewilayahan,” jelas Wahyu.
Ia menambahkan, pembentukan batalyon tersebut bertujuan mendukung pembangunan nasional dan stabilitas daerah di 514 kabupaten/kota. Setiap BTP akan didirikan di lahan seluas 30 hektare dan terdiri dari empat kompi tematik: kompi pertanian, kompi peternakan, kompi medis, dan kompi zeni.
Namun, rencana tersebut mengundang kekhawatiran akan tergerusnya profesionalisme militer. Pengamat pertahanan dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menekankan bahwa fungsi utama TNI telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang diperbarui melalui UU Nomor 3 Tahun 2025.
“Konstitusi secara tegas menetapkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan. Tugas utama TNI adalah menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah dari ancaman militer eksternal maupun internal,” ujar Beni kepada Tirto, Jumat (13/6).
Beni memandang pelibatan prajurit dalam sektor-sektor non-pertahanan, jika dilakukan secara permanen dan struktural, berpotensi menggeser fokus utama TNI dari fungsi pertahanan menuju kegiatan sipil, yang sejatinya menjadi domain kementerian dan lembaga non-militer.
“Alih-alih memperkuat matra pertahanan, lebih tepat bila TNI menambah batalyon tempur seperti infanteri atau kavaleri yang relevan dengan tugas inti,” tambahnya.
Risiko Militerisasi Urusan Sipil
Senada, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai rencana ini menyalahi mandat konstitusional dan dapat memperluas praktik militerisasi dalam urusan sipil.
“TNI adalah alat pertahanan negara, bukan pelaksana program pembangunan sipil. Ketika prajurit disiapkan untuk bertani atau beternak alih-alih bertempur, maka terjadi pembelokan fungsi yang serius,” ujar Usman.
Ia menilai pelibatan TNI dalam sektor pertanian, peternakan, dan kesehatan berisiko mencederai profesionalisme dan netralitas TNI. Menurutnya, program ini mencerminkan kegagalan negara dalam memberdayakan tenaga profesional sipil di sektor terkait.
“Apakah negara kekurangan tenaga ahli pertanian atau peternakan sehingga harus melibatkan militer? Presiden sebagai Panglima Tertinggi dan DPR sebagai lembaga pengawas perlu mengevaluasi, bahkan membatalkan rencana ini,” tegas Usman.
Klarifikasi dari TNI: Bukan Pelibatan Sipil, tetapi Ketahanan Nasional
Menanggapi kritik tersebut, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyarankan agar istilah “non-pertahanan” tidak disalahartikan. Menurutnya, pembentukan BTP justru merupakan bentuk penguatan pertahanan non-tradisional dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
“Meski tidak bersifat tempur, batalyon ini tetap berada dalam kerangka tugas militer dan kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat. Seluruh prajurit tetap menjalani pendidikan militer dan memiliki kemampuan tempur dasar,” jelas Fahmi.
Ia menegaskan bahwa selama struktur komando dan doktrin militer tetap diterapkan, pembentukan satuan tematik seperti BTP tidak akan mengganggu profesionalitas TNI. Bahkan, kehadiran satuan-satuan ini dapat meringankan tugas satuan tempur yang selama ini harus menjalankan peran sipil, seperti membangun jalan di daerah 3T.
Namun, ia mengingatkan pentingnya pengawasan ketat agar unit-unit tersebut tidak menyimpang dari mandat militer dan berubah menjadi unit teknis yang menggantikan kementerian sipil.
“DPR dan institusi pengawas lainnya wajib memastikan agar peran dan struktur militer tetap terjaga, serta menjamin tidak ada ekspansi militer ke ruang sipil,” ujar Fahmi.
Kekhawatiran Akan Militerisme Gaya Baru
Sementara itu, Peneliti HAM dan Keamanan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menilai pembentukan BTP berpotensi menjadi bentuk baru militerisme yang terselubung dalam narasi pembangunan.
“Retorika pembangunan tidak boleh dijadikan alasan untuk memperluas peran militer dalam ruang sipil. Ini berisiko mendistorsi fungsi pertahanan sebagaimana diamanatkan konstitusi,” tegas Ikhsan.
Ia juga menyoroti potensi pemborosan anggaran akibat rekrutmen besar-besaran, di tengah kebutuhan mendesak penguatan alutsista dan peningkatan kesejahteraan prajurit. Menurutnya, orientasi pertahanan Indonesia semestinya fokus pada penguatan matra laut dan udara, yang semakin penting dalam konteks geopolitik regional.
“Ketika negara-negara lain memperkuat militernya dengan teknologi mutakhir dan prajurit profesional, TNI justru memilih memperbesar jumlah personel untuk tugas non-pertahanan. Ini menunjukkan kegagalan dalam membaca tantangan pertahanan masa depan,” pungkas Ikhsan.