Mojokerto, Moralita.com — Mencuat kembali indikasi kuat terjadinya pelanggaran serius perbankan, kali ini terkait kucuran fasilitas kredit pribadi Rp 3,3 Miliar untuk Komisaris dan Direktur Utama BPR Majatama pada Juli-Agustus 2024.
Berdasarkan hasil investigasi FKI-1, fasilitas kredit jumbo tersebut diberikan kepada pejabat tinggi BPR Majatama disinyalir menggunakan jaminan yang tidak layak (marketable), bertentangan dengan aturan prinsip kehati-hatian perbankan, POJK serta pelanggaran konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).
“Secara mekanisme apraisal perbankan dalam menentukan nilai kredit sebesar itu harus dinilai oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP),” ungkap Ketua FKI-1 Mojokerto, Wiwit Hariyono di kantornya, Jum’at (6/6).
KJPP adalah lembaga yang memberikan jasa penilaian aset, terutama properti, dan memiliki izin usaha dari Kementerian Keuangan. KJPP berperan penting dalam menentukan nilai wajar aset berdasarkan nilai pasar untuk berbagai keperluan seperti transaksi bisnis, hutang-piutang perbankan, laporan keuangan, dan investasi.
Sekda Teguh sebagai Komisaris Utama terima fasilitas Kredit Jumbo Senilai Rp 2 Miliar
Wiwit sebagai aktivis sosial yang juga konsen melakukan investigasi terhadap BPR Majatama menyampaikan hasil investigasinya, menurut hasil temuannya Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto, Teguh Gunarko, yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama BPR Majatama, tercatat menerima fasilitas pinjaman pribadi bernilai tinggi dari BPR tempat ia bertugas. Pinjaman tersebut dicairkan pada akhir Juli 2024 tahun lalu dengan plafon sebesar Rp 2 miliar.
Skema fasilitas kredit tersebut memuat sejumlah kemudahan yang dinilai dipaksakan. Bunga kredit menurut hasil investigasi hanya 0,9% per bulan, dengan skema cicilan bayar bunga saja (interest-only loan) tiap bulannya tanpa cicilan pokok. Jatuh tempo diketahui pada akhir Juli 2025.
Biaya administrasi kredit pun terbilang istimewa hanya dikenakan 0,5% dari Rp 2 Miliar atau senilai Rp 10 juta. Lebih mencengangkan lagi, skema pinjaman ini disebut dapat diperpanjang/diperbarui selama satu tahun kedepan setelah jatuh tempo akhir Juli 2025.
“Kenapa analisa dari investigasi kami mengarah jelas kredit tersebut tanpa melalui penilaian aset oleh KJPP, karena biaya admin kreditnya sangat kecil cuma dibebankan Rp 10juta kepada Sekda Teguh saat pencairan, sedangkan biaya KJPP itu setiap jaminan aset (sertifikat) itu rata-rata Rp 3juta dan diketahui aset properti yang dijaminkan Sekda lebih dari 5 agunan properti,” ungkap Wiwit.
Menurutnya, Kredit istimewa sebesar itu disinyalir dicairkan BPR Majatama dibawah kendali Sekda Teguh sebagai Komisaris Utama tidak melalui proses penilaian oleh KJPP terhadap agunan properti yang dijaminkan. Sehingga diragukan nilai pasar (market value) yang sepadan dengan nilai pinjamannya.
“Potensi risiko gagal bayar yang tinggi terhadap dana Pemda yang dikelola BPR Majatama, dengan kata lain apabila terjadi gagal bayar aset jaminan dijual tak bisa menutup nilai hutangnya, sehingga terjadi potensi kerugian negara,” lontarnya.
Kontradiktif! pada LHKPN Nilai aset properti Sekdakab Mojokerto Teguh Gunarko tertera Rp 750 Juta
Kredit istimewa sebesar Rp 2 miliar diberikan kepada Sekda merangkap Komisaris Utama BPR Majatama yang memiliki aset tanah dan bangunan tercatat di LHKPN cuma Rp750 juta.

“Bagaimana BPR Majatama bersama Komisi II DPRD mengklaim sehat, memegang prinsip prudential banking dan GCG, tapi sistem tata kelolanya asal-asalan begini,” tanyanya.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif dengan jabatan strategis sebagai Sekretaris Daerah, Teguh Gunarko seharusnya menjaga integritas dan menghindari situasi yang menimbulkan konflik kepentingan.
Rangkap jabatan sebagai Komisaris Utama di BPR Majatama menempatkan yang bersangkutan dalam posisi yang sangat rawan terhadap benturan kepentingan, apalagi bila kemudian menerima fasilitas pinjaman keuangan pribadi dari lembaga yang diawasi langsung olehnya.
Ia menjelaskan tindakan ini secara substansi melanggar ketentuan Pasal 54 POJK Nomor 9/POJK.03/2024 tentang Tata Kelola BPR/BPRS, yang menyatakan bahwa anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan BPR untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan BPR (1) juga dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BPR, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS (2).
Apabila terbukti bahwa pemberian fasilitas kredit tersebut tidak melalui proses analisis kelayakan kredit secara wajar dan objektif, menggunakan agunan yang tidak marketable, tidak dilakukan appraisal independen oleh KJPP, dan akhirnya menimbulkan potensi kerugian pada BPR Majatama saat gagal bayar dan nilai agunan tak bisa menutupi nilai pinjaman, maka praktik ini menurutnya erat disinyalir sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Dalam perspektif hukum pidana, tindakan ini dapat dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, khususnya berkaitan dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau daerah.
Ia membeberkan, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan POJK Nomor 23 Tahun 2022 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), terdapat ketentuan khusus mengenai pemberian kredit kepada Dewan Komisaris.
Pasal 26 ayat (1) POJK 23/2022 menyatakan:
Kredit atau Pembiayaan kepada:
a. anggota Direksi.
b. anggota Dewan Komisaris
c. pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait.
Lebih lanjut, indikasi aturan yang dilanggar sesuai Pasal 26 ayat (2) mengatur bahwa pengecualian tersebut dapat diberikan sepanjang didasarkan pada kebijakan tunjangan dan fasilitas jabatan yang diberikan secara wajar dengan kriteria minimal yang diatur dalam point:
(b.) tidak ada perlakuan khusus antar pegawai BPR atau BPRS dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
“Kuat dugaan pemberian fasilitas pinjaman jumbo ini adalah perlakuan khusus yang diterima Sekda Teguh,” tuding Wiwit.
Direktur Utama BPR Majatama juga Terima Kucuran Kredit Miliaran
Tidak hanya Komisaris Utama, Direktur Utama PT BPR Majatama, Tri Hardianto, juga menerima fasilitas kredit pribadi yang patut dipertanyakan dari sisi tata kelola dan prinsip kehati-hatian yang notabene diterapkan BPR Majatama.
Berdasarkan hasil investigasinya, pada pertengahan Agustus 2024, Dirut terima kucuran pinjaman senilai Rp 1,3 miliar dengan cicilan tiap bulannya hingga jangka 10 tahun, padahal masa jabatannya sebagai Direktur Utama hanya berlaku selama 3 tahun kedepan dan tak bisa diperpanjang karena pada periode ke 3.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang penerapan asas kehati-hatian perbankan, resiko mekanisme pengembalian pinjaman setelah masa jabatan berakhir, serta menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara jangka waktu pinjaman dan kapasitas kepemimpinan yang bersifat sementara.
“Menurut hasil investigasi kami agunan properti yang dijaminkan sebagai pinjaman pribadi Direktur nilai pasarnya diprediksi hanya separuh dari nilai pinjamannya,” terangnya.
Pemberian kredit tersebut juga disinyalir tidak melalui proses penilaian agunan yang layak, karena tidak dilakukan appraisal oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Hal ini berisiko tinggi terhadap potensi gagal bayar yang berpengaruh pada kesehatan keuangan BPR.
Jika dugaan pelanggaran tersebut terbukti melalui proses investigasi dan audit oleh OJK dan BPK, maka pemberian kredit kepada Komisaris dan Direksi PT BPR Majatama dapat dikategorikan sebagai:
- Pelanggaran prinsip tata kelola BUMD dan BPR.
- Pelanggaran disiplin dan etik ASN, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
- Pelanggaran hukum administrasi negara, khususnya terkait konflik kepentingan menurut UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
- Potensi menjadi tindak pidana korupsi sesuai UU Tipikor jika terbukti merugikan keuangan daerah.
Dugaan Aliran Dana Pinjaman Komisaris dan Direktur untuk Cost Politik Pencalonan Pilkada 2024
Wiwit menjelaskan, berdasarkan sejumlah sumber internal yang terpercaya menduga bahwa pencairan fasilitas kredit dengan plafon tinggi kepada Komisaris Utama dan Direktur Utama PT BPR Majatama pada periode Juli–Agustus 2024 tidak lepas dari pembiayaan politik salah satu calon menjelang kontestasi Pilkada Kabupaten Mojokerto 2024.
“Momentum pencairan yang berdekatan dengan tahapan pencalonan kepala daerah itu disinyalir dana pinjaman tersebut digunakan sebagai bagian dari skema ‘patungan politik’ dari para kepala OPD untuk kepentingan politik praktis,” tudingnya.
Ia juga mengaku telah mengantongi data identitas sejumlah Kepala OPD yang diduga turut terlibat dalam praktik ‘Patungan Politik’ tersebut.
“Akan kami ungkap secara bertahap setelah ini, siapa saja Kepala OPD yang terlibat patungan,” ucap Wiwit.
Wiwit juga menjelaskan terkait resiko menjadi pejabat negara yang harus siap dikritisi. Pejabat publik dimaknai sudah menjadi milik publik, yang perkataannya, perbuatannya serta ekspresinya pasti dalam pengawasan publik. Semestinya pejabat negara menyadari akam hal itu sebagai resiko melekat.
“Jika anti-kritik, ya jangan jadi pejabat publik,” katanya menegaskan.
Lebih lanjut, ia mengutip dari Mahkamah Konstitusi (MK) mengkritik pejabat negara adalah sebagai bagian dari fungsi pengawasan. Kritik tersebut merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Kritik juga berperan dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi.
Terkait polemik ini, Direktur BPR Majatama, Tri Hardianto ketika dihubungi untuk konfirmasi dan klarifikasi belum memberikan keterangan resminya.
Discussion about this post