Mahfud Md Sentil Reformasi Polri, Mindset Kulturnya Harus Dibenahi
Oleh Redaksi — Jumat, 26 September 2025 11:26 WIB; ?>

Mahfud MD saat diskusi dialog kebangsaan di Universitas Andalas Padang - Sumbar, Jumat (26/9).
Padang, Moralita.com – Universitas Andalas (UNAND), Padang, Jumat (26/9), mendadak jadi panggung intelektual yang agak panas-dingin. Bukan karena pendingin ruangan, melainkan karena isi kepala Prof. Mahfud Md, Menkopolhukam RI periode 2019–2024 yang kembali menohok soal reformasi di tubuh Polri.
Di sela seminar nasional bertajuk “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024: Kebebasan Berpendapat Tanpa Batas, Demokrasi Berkembang atau Anarki Digital’, Mahfud tak hanya bicara demokrasi digital. Ia juga menguliti soal reformasi Polri, sebuah agenda lama yang sampai hari ini masih lebih sering terdengar di pidato ketimbang terasa di lapangan.
“Jadi, ada tiga pilar ya. Pertama itu terkait struktural yang menyangkut kelembagaan,” kata Mahfud.
Pertama Pilar struktural, kata Mahfud, berkaitan dengan bagaimana Polri dikelola sebagai institusi negara. Struktur kelembagaan menentukan pola komando, birokrasi, dan tata kelola organisasi.
Menurutnya, secara umum, aspek ini bisa diperbaiki dan masih berjalan cukup baik. Tetapi jangan buru-buru lega: cukup baik dalam kacamata Mahfud bukan berarti sudah ideal. Ia lebih ke “belum bubar jalan, tapi juga belum juara dunia”.
Kedua, Pilar Instrumental penilainnya inilah ranah aturan, regulasi, SOP, dan segala tetek-bengek formalitas yang mengatur bagaimana polisi bekerja. Mahfud menilai aturan sebenarnya sudah banyak, bahkan bisa dibilang menumpuk. Masalahnya bukan di kertas, melainkan di praktik. Banyak aturan yang hanya jadi tulisan indah, tanpa kesungguhan implementasi.
“Pilar instrumental bisa diperbaiki pelan-pelan. Sebelumnya juga sudah cukup baik,” ujarnya. Namun, nada kalimatnya jelas menunjukkan ada tapi besar yang belum diucapkan.
Pilar Ketiga adalah Kultur, di sinilah Mahfud meledakkan kritiknya. Pilar ketiga, kultur, menurutnya justru yang paling bermasalah. “Selain dilakukan dengan cara kotor, banyak juga terlibat ke soal politik,” tegasnya.
Kultur yang ia maksud bukan sekadar gaya kerja, melainkan mindset yang menahun, perlindungan terhadap penjahat, nepotisme dalam promosi jabatan, mutasi anggota yang penuh intrik, kenaikan pangkat yang bisa ‘dibeli’, hingga rekrutmen perwira yang lebih mirip pintu tol siapa yang punya kartu elektronik, tinggal tap, langsung lolos.
Mahfud menyindir bahwa selama kultur ini tak dibenahi, struktur bagus dan aturan rapi pun tak ada gunanya. Institusi bisa tampak gagah dari luar, tapi rapuh di dalam. Ibarat gedung pencakar langit dengan pondasi kayu lapuk berdiri megah, tapi sekali gempa bisa ambruk.
Mahfud, yang sempat menjadi calon wakil presiden 2024, jelas menyindir pemerintahan baru. Menurutnya, Presiden Prabowo harus menaruh perhatian ekstra pada tiga aspek tadi struktur, instrumen, dan kultur jika benar-benar ingin mereformasi Polri.
“Saya kira itu nanti yang perlu dijadikan fokus untuk langkah-langkah dari pemerintah dalam melakukan reformasi kepolisian,” sarannya.
Mahfud mengaku, ia sudah sering menerima laporan langsung. Tidak hanya dari masyarakat, tapi juga dari anggota Polri sendiri yang merasa menjadi korban ketidakadilan di internal institusi. Artinya, kritik ini bukan semata suara publik yang sering dianggap emosional, tapi juga suara dari dalam tubuh Polri sendiri.
Dari cerita-cerita itu, tergambar jelas bahwa masalah kultur bukan lagi isu eksternal, melainkan luka internal. Polisi yang seharusnya tegak lurus dengan hukum justru merasa terjepit oleh mekanisme internal yang timpang.
Tak berhenti pada kritik, Mahfud juga menyinggung inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang membentuk Komite Reformasi Polri. Menurutnya, inilah peluang emas untuk memperbaiki Korps Bhayangkara secara menyeluruh. “Harapan,” begitu Mahfud menyebutnya.
Kabar terbaru, Mahfud bahkan menyatakan kesediaannya bergabung dalam tim tersebut. Hal ini dikonfirmasi Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. “Alhamdulillah, beliau menyampaikan kesediaan untuk ikut bergabung,” kata Prasetyo.
Bergabungnya Mahfud tentu memberi warna baru. Dengan reputasinya sebagai pakar hukum tata negara, mantan Menkopolhukam, sekaligus sosok yang dikenal ‘bicara apa adanya’, publik bisa berharap Komite ini tidak sekadar jadi stempel formalitas atau sekedar tim ad hoc yang lahir untuk tenggelam lagi.
Reformasi Polri, sejak pasca-Orde Baru hingga kini, selalu jadi pekerjaan rumah abadi. Dari Reformasi Polri jilid I tahun 2000-an, pembentukan Kompolnas, sampai jargon-jargon “Presisi”, publik lebih sering mendengar slogan daripada melihat hasil nyata.
Mahfud datang dengan gaya khasnya yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Tiga pilar yang ia sebut sebenarnya bukan hal baru, tapi dengan menekankan bahwa akar masalah ada di kultur, Mahfud mengingatkan kita semua bahwa penyakit Polri bukan sekadar soal struktur atau aturan, tapi soal ‘budaya kotor’ yang terus dipelihara.
Apakah Prabowo berani menyikat kultur ini? Apakah Komite Reformasi Polri sekadar panggung drama atau benar-benar ruang kerja?
Sampai saat itu terjawab, publik hanya bisa menunggu. Tapi, seperti yang Mahfud katakan, reformasi Polri bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Kalau tidak, Polri akan terus jadi institusi yang gagah di seragam, tapi keropos di dalam.
Artikel terkait:
- Author: Redaksi
At the moment there is no comment