Pelantikan Irjen Pol. Muhammad Iqbal sebagai Sekjen DPD RI: Efektivitas, Kontroversi, dan Legitimasi Hukum
Oleh Redaksi Moralita — Kamis, 22 Mei 2025 14:04 WIB; ?>

Sekretaris Jenderal DPD yang baru Irjen Pol Mohammad Iqbal mengucap sumpah jabatan saat pelantikan
Jakarta, Moralita.com – Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Sultan Bachtiar Najamudin, secara resmi melantik Inspektur Jenderal Polisi Muhammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI. Prosesi pelantikan berlangsung di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 79/TPA Tahun 2025 mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di lingkungan Sekretariat Jenderal DPD RI.
Dalam pidato sambutannya, Sultan menekankan bahwa jabatan Sekretaris Jenderal DPD merupakan posisi strategis yang berperan vital dalam mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan DPD RI.
“Dengan latar belakang sebagai perwira tinggi Polri, Saudara Muhammad Iqbal telah menunjukkan dedikasi dan profesionalisme yang tinggi dalam setiap penugasan. Kami meyakini bahwa pengalaman serta kompetensinya akan memperkaya perspektif kelembagaan dan meningkatkan efektivitas kinerja DPD RI dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya,” ujar Sultan.
Rekam Jejak Karier dan Penugasan Iqbal di Polri
Irjen Pol. Muhammad Iqbal memiliki pengalaman panjang dan mendalam di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kariernya mencakup berbagai posisi strategis, termasuk sebagai Kepala Divisi Humas Mabes Polri (2018), Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (2020–2021), serta Kapolda Riau (2021). Setelahnya, ia ditarik kembali ke Jakarta sebagai Perwira Tinggi Baharkam Polri sebelum akhirnya ditugaskan ke DPD RI.
Kritik Publik dan Kekhawatiran Konflik Kepentingan
Meskipun pelantikan Iqbal didukung oleh internal DPD, publik menyampaikan sejumlah kekhawatiran terkait potensi konflik kepentingan. Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyoroti ketidaksesuaian antara latar belakang penegak hukum dengan fungsi administratif Sekretariat Jenderal DPD RI.
“Jabatan Sekjen DPD semestinya bebas dari loyalitas ganda. Penempatan perwira aktif Polri di jabatan sipil non-penegakan hukum seperti ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan, baik secara kelembagaan maupun pribadi,” kata Lucius saat dihubungi Tirto, Selasa (21/5/2025).
Upaya Tirto untuk meminta tanggapan dari pimpinan DPD terkait potensi tersebut belum membuahkan hasil. Ketua DPD Sultan dan Wakil Ketua Tamsil Linrung tidak memberikan pernyataan saat dimintai konfirmasi.
Aspek Yuridis dan Penafsiran Regulasi
Keppres Nomor 79/TPA Tahun 2025 dijadikan dasar hukum pelantikan Iqbal. Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menilai bahwa pelantikan tersebut sah secara hukum dan selaras dengan ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Pasal 28 ayat (3) UU tersebut menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Namun, Rudianto menafsirkan bahwa frasa “di luar kepolisian” dapat mencakup jabatan sipil yang tetap berada dalam kerangka penugasan institusional dari Kapolri.
Lebih lanjut, ia merujuk pada Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi serta melayani publik, sehingga secara normatif dapat berperan dalam kerja sama lintas lembaga.
“Penempatan anggota Polri di lembaga negara harus dipahami secara utuh, baik dari sisi filosofis, normatif maupun implementatif, agar tidak terjadi penafsiran yang bias terhadap prinsip penugasan lintas kelembagaan,” tegas Rudianto.
Legalitas Penugasan: Pandangan Polri
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan bahwa pengangkatan Irjen Iqbal merupakan tindak lanjut atas permintaan resmi dari Ketua DPD RI yang disetujui oleh Kapolri. Ia menekankan bahwa penunjukan tersebut juga didasarkan pada kompetensi Iqbal dan kesesuaiannya dengan kebutuhan kelembagaan.
Trunoyudo merinci sejumlah regulasi pendukung, antara lain:
- Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN),
- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil,
- Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2017,
- Peraturan Polisi Nomor 12 Tahun 2018.
Pasal 147 PP 11/2017 memperbolehkan pengisian jabatan ASN tertentu oleh anggota Polri, sedangkan Pasal 149 mengatur mekanisme persetujuan pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan menteri teknis terkait.
Tantangan Legitimasi: UU MD3 dan Status PNS
Meski telah didukung dengan regulasi teknis, pelantikan Iqbal tetap dinilai bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal 414 ayat (2) UU MD3 secara eksplisit menyebutkan bahwa Sekjen DPD harus berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) profesional.
Lucius Karus menyatakan bahwa anggota Polri, meskipun bagian dari aparatur negara, tidak termasuk dalam kategori PNS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut.
“Penunjukan pejabat aktif dari Polri sebagai Sekjen DPD jelas tidak sejalan dengan substansi Pasal 414 UU MD3. Hal ini menunjukkan kurangnya kehati-hatian dalam menjaga profesionalitas kelembagaan,” kritik Lucius.
Ia juga menambahkan bahwa alih-alih menimbulkan kontroversi, DPD seharusnya lebih fokus pada upaya memperkuat kewenangannya dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja kelembagaan.
Sorotan Terhadap Reformasi Polri dan Integritas Penugasan
Kritik serupa dilontarkan oleh Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto. Ia mempertanyakan landasan hukum yang digunakan oleh DPR untuk mendukung penunjukan Iqbal, terutama penggunaan tafsir bebas terhadap Undang-undang Kepolisian.
“Anggota Polri seharusnya mengundurkan diri atau pensiun jika ingin menduduki jabatan struktural sipil. Menjadikan surat perintah Kapolri sebagai dasar legal semata justru membuka potensi intervensi dan melemahkan semangat reformasi kelembagaan,” ujar Bambang.
Ia memperingatkan bahwa pembiaran rangkap status antara perwira Polri dengan jabatan di kementerian dan lembaga sipil akan merusak prinsip netralitas serta akuntabilitas birokrasi sipil.
“Kapolri harus memberikan ketegasan: apakah seorang anggota ingin tetap berada dalam struktur Polri atau memilih beralih status menjadi ASN. Tidak boleh ada ambiguitas,” pungkasnya.
Kesimpulan:
Pelantikan Irjen Pol. Muhammad Iqbal sebagai Sekjen DPD RI membuka kembali wacana penting seputar penempatan anggota aktif Polri dalam jabatan sipil strategis. Meski didukung oleh sejumlah regulasi administratif, penunjukan ini menimbulkan diskursus hukum, etika jabatan publik, serta urgensi menjaga independensi kelembagaan sipil dalam sistem pemerintahan demokratis. DPD RI kini berada dalam sorotan publik, tidak hanya karena urgensi penguatan fungsinya, tetapi juga integritas dalam mengelola sumber daya manusianya.
- Author: Redaksi Moralita
At the moment there is no comment