Selasa, 5 Agu 2025
light_mode
Home » Government » Rangkap Jabatan Wakil Menteri sebagai Komisaris BUMN Kembali Menjadi Sorotan: Urgensi Regulasi dan Implikasi Tata Kelola

Rangkap Jabatan Wakil Menteri sebagai Komisaris BUMN Kembali Menjadi Sorotan: Urgensi Regulasi dan Implikasi Tata Kelola

Oleh Redaksi Moralita — Kamis, 5 Juni 2025 09:39 WIB

Jakarta, Moralita.com – Praktik rangkap jabatan yang dilakukan sejumlah wakil menteri sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) kembali menuai sorotan publik. Fenomena ini mencuat seiring dengan pengangkatan sejumlah wakil menteri ke posisi strategis di perusahaan-perusahaan pelat merah dalam waktu yang hampir bersamaan.

Salah satu kasus terbaru terjadi dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk pada Selasa (27/5). Dalam forum tersebut, Telkom secara resmi menetapkan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo, sebagai Komisaris Utama perusahaan.

Tidak hanya itu, berdasarkan informasi yang tercantum dalam situs resmi Telkom, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ossy Dermawan, juga tercatat menduduki posisi sebagai komisaris di perusahaan yang sama.

Selang sehari kemudian, Rabu (28/5), anak usaha Telkom, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), juga mengumumkan pengangkatan dua wakil menteri sebagai komisaris dalam RUPST-nya. Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, ditunjuk sebagai Komisaris Utama Telkomsel, sementara Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Ahmad Riza Patria, juga dipercaya sebagai komisaris.

Fenomena ini tidak berhenti pada Telkom dan Telkomsel. Dua wakil menteri dari Kementerian BUMN sendiri turut merangkap jabatan serupa. Kartika Wirjoatmodjo ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dalam RUPST yang digelar pada Maret 2025, sementara Aminuddin Ma’ruf menjabat sebagai komisaris di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Selain nama-nama tersebut, data yang dihimpun  menunjukkan bahwa sejumlah wakil menteri lainnya juga menjabat sebagai komisaris di berbagai BUMN. Sebagian diangkat sebelum dilantik sebagai wakil menteri, sementara sebagian lainnya justru mendapat penunjukan setelah menjabat.

Baca Juga :  Terkuak Krisis Kondisi di BPR Majatama Mojokerto, Bupati Harus Bertindak Tegas!

Di antaranya adalah Dony Oskaria (Wakil Menteri BUMN dan Wakil Komisaris Utama PT Pertamina), Diana Kusumastuti (Wakil Menteri PUPR dan Komisaris Utama PT Brantas Abipraya), Suntana (Wakil Menteri Perhubungan dan Wakil Komisaris Utama PT Pelindo), Didit Herdiawan (Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan serta Komisaris Utama PT Perikanan Indonesia), Silmy Karim (Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan sekaligus Komisaris Telkom Indonesia), Yuliot (Wakil Menteri ESDM dan Komisaris Bank Mandiri), Helvi Yuni Moraza (Wakil Menteri Koperasi dan UMKM serta Komisaris BRI), Fahri Hamzah (Wakil Menteri Perumahan Rakyat sekaligus Komisaris BTN), Dante Saksono Harbuwono (Wakil Menteri Kesehatan dan Komisaris PT Pertamina Bina Medika IHC), serta Sudaryono (Wakil Menteri Pertanian dan Kepala Dewan Pengawas Perum Bulog).

Ketidakjelasan Regulasi dan Ketimpangan Yuridis

Peneliti hukum dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Saleh, menilai praktik rangkap jabatan oleh wakil menteri di jajaran komisaris BUMN menimbulkan permasalahan hukum dan tata kelola yang serius. Ia menyatakan, meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara secara eksplisit melarang menteri untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris atau direksi di perusahaan negara atau swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD, aturan tersebut tidak secara langsung menyebut larangan serupa untuk wakil menteri.

Namun, menurutnya, hal ini tidak berarti kekosongan hukum. Saleh merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang dalam pertimbangan hukumnya, khususnya pada halaman 96, menyatakan bahwa larangan merangkap jabatan bagi menteri seharusnya juga berlaku bagi wakil menteri.

“Putusan MK tidak hanya mengikat pada amar putusannya, tetapi juga pada pertimbangan hukum yang menyertainya. Karena wakil menteri adalah pejabat negara yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden serta menteri, maka seharusnya ketentuan Pasal 23 UU Kementerian Negara juga berlaku,” tegas Saleh.

Baca Juga :  Analisis Pakar Hukum Rumah Polisi Mojokerto Meledak, Pelaku bisa Dijerat Pasal Berlapis

Ia juga menyoroti pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pejabat publik, termasuk wakil menteri, diwajibkan untuk menjunjung asas bebas konflik kepentingan dan tidak menyalahgunakan wewenang.

Lebih jauh, ia mengingatkan pentingnya integritas dalam kehidupan berbangsa sebagaimana termaktub dalam Tap MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Menurutnya, kaburnya batas antara pembuat kebijakan dan pelaku usaha dapat mengancam akuntabilitas dan good governance dalam penyelenggaraan negara.

Permohonan Uji Materi dan Desakan Regulasi Tegas

Ketiadaan norma eksplisit yang melarang rangkap jabatan bagi wakil menteri mendorong Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES), Juhaidy Rizaldy Roringkon, untuk mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 23 UU Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi.

Ia berpendapat bahwa kekosongan hukum ini membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan serta ketidakadilan struktural dalam tata kelola pemerintahan. Menurutnya, ketentuan dalam putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 seharusnya menjadi dasar hukum yang cukup untuk menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan juga berlaku bagi wakil menteri.

Juhaidy meminta agar frasa “Menteri” dalam Pasal 23 dimaknai secara inklusif mencakup “Menteri dan Wakil Menteri” demi mencegah konflik kepentingan dan menjamin kepastian hukum.

Dugaan Benturan Kepentingan dan Penyimpangan Etika

Kritik serupa disampaikan Direktur Next Policy, Herry Gunawan. Ia menilai praktik ini tidak sekadar bermasalah secara etika, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Menurut Herry, perubahan status hukum BUMN menjadi badan hukum privat pasca-berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN telah disalahartikan sebagai dasar legitimasi rangkap jabatan oleh wakil menteri.

Baca Juga :  Tolak Teken Damai, Kekecewaan Tuntutan Orang Tua Korban Meninggal SMPN 7 Mojokerto di Pantai Drini

Padahal, menurutnya, posisi wakil menteri sebagai regulator tidak boleh bercampur dengan fungsi sebagai operator atau pengambil keputusan korporasi. “Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga membuka potensi gratifikasi terselubung, bahkan dapat dikategorikan sebagai bentuk suap,” tegasnya.

Respons Pemerintah: Tidak Ada Larangan Eksplisit

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, dalam konferensi pers pada Selasa (3/6/2025), menyatakan bahwa Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 tidak secara eksplisit melarang wakil menteri merangkap jabatan. Ia mengakui bahwa memang terdapat frasa yang mengarah pada pelarangan dalam pertimbangan hukum, namun hal itu tidak tercantum dalam amar putusan.

“Yang jelas, sampai hari ini, tidak ada bunyi putusan yang menyatakan larangan tersebut. Kalau masyarakat ingin menggugat, silakan saja. Itu adalah hak konstitusional,” ujarnya.

Kesimpulan: Mendesak Regulasi yang Tegas dan Komprehensif

Ketiadaan norma eksplisit yang melarang rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN telah menciptakan ruang abu-abu dalam tata kelola pemerintahan. Terlepas dari dalih legalitas formal, praktik ini menyimpan potensi konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, serta pelanggaran prinsip etika dan good governance.

Desakan terhadap pemerintah dan pembentuk undang-undang untuk merevisi dan memperjelas ketentuan dalam UU Kementerian Negara kian menguat. Reformasi struktural dalam sistem birokrasi dan tata kelola BUMN harus segera dilakukan agar tidak terjadi pembiaran terhadap praktik yang berisiko melemahkan akuntabilitas institusi publik.

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less