Sabtu, 23 Agu 2025
light_mode
Beranda » Government » Alasan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah: Jeda Minimal 2 Tahun

Alasan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah: Jeda Minimal 2 Tahun

Oleh Redaksi Moralita — Kamis, 26 Juni 2025 17:24 WIB

Jakarta, Moralita.com — Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan monumental yang mengubah peta penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah.

Melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu lokal atau daerah harus dipisahkan dari pemilu nasional dengan jeda waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah seluruh tahapan pemilu nasional rampung.

Wakil Ketua MK, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6), menjelaskan bahwa rampungnya pemilu nasional ditandai dengan pelantikan pejabat politik terpilih, yakni anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.

“Pelantikan anggota DPR-RI, DPD, atau presiden dan wakil presiden menjadi titik akhir tahapan pemilu nasional, dan dari momen inilah waktu untuk penyelenggaraan pemilu lokal dihitung,” tegas Saldi Isra.

Pemilu Serentak Dinilai Menimbulkan Masalah Struktural dan Demokratis

Menurut MK, pengalaman pada pemilu serentak tahun 2024 yang menggabungkan pemilihan legislatif dan eksekutif nasional dengan pemilihan kepala daerah menimbulkan berbagai persoalan serius. Beberapa di antaranya meliputi:

~ Pelemahan institusi partai politik, karena kurangnya jeda waktu untuk kaderisasi dan persiapan strategi elektoral lintas jenjang;

~ Kelelahan pemilih (voter fatigue) yang berdampak pada menurunnya kualitas partisipasi politik dan tingginya angka surat suara tidak sah;

Baca Juga :  MK Bacakan Putusan Sela Gugatan Pilgub Jatim 2024, Emil Dardak Optimistis Menang

~ Kompleksitas teknis dan beban logistik, yang meningkatkan potensi kesalahan administrasi serta memperbesar risiko keamanan dan konflik horizontal.

MK berpendapat bahwa situasi ini mengancam kualitas demokrasi dan efektivitas pemilu sebagai mekanisme peralihan kekuasaan yang sah dan kredibel. Oleh karena itu, pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan lokal merupakan keharusan konstitusional.

Bunyi Amar Putusan dan Tafsir Baru terhadap UU Pemilu

Mahkamah menyatakan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan ini bersifat conditionally unconstitutional, artinya pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak mengikat kecuali dimaknai sesuai dengan tafsir konstitusional Mahkamah.

Tiga pasal yang dimaksud adalah:

1. Pasal 167 ayat (3) UU No. 7/2017

2. Pasal 347 ayat (1) UU No. 7/2017

3. Pasal 3 ayat (1) UU No. 8/2015

 

Inti dari tafsir baru MK adalah bahwa:

Pemungutan suara untuk memilih anggota DPR-RI, DPD, dan presiden/wakil presiden dilaksanakan secara serentak, dan setelah itu dalam jangka waktu dua tahun hingga dua setengah tahun kemudian, dilaksanakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah di seluruh Indonesia.

Baca Juga :  Gugatan Kubu Risma-Gus Hans ke MK Diregister, Tim Khofifah-Emil Daftar Pihak Terkait

Implikasi Konstitusional: UU Pemilu Harus Direvisi, Masa Jabatan Daerah Perlu Diatur

Putusan ini membawa dampak langsung terhadap skema regulasi yang berlaku saat ini. Untuk menindaklanjuti keputusan MK, pembentuk undang-undang yakni DPR RI dan Presiden diwajibkan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) guna mengatur norma-norma peralihan.

Saldi Isra menekankan bahwa hal ini menyangkut keberlanjutan masa jabatan pejabat lokal, baik di legislatif maupun eksekutif, yang terlanjur dipilih dalam siklus pemilu serentak 2024.

“Penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk UU untuk mengatur secara sah dan konstitusional, dengan tetap menjamin stabilitas pemerintahan daerah dan akuntabilitas publik,” papar Saldi.

Komisi II DPR RI: Putusan MK Akan Diintegrasikan ke Revisi UU Pemilu

Menanggapi putusan tersebut, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyatakan bahwa keputusan MK akan menjadi landasan utama dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu yang akan segera dibahas di parlemen.

“Kami menganggap ini sebagai momentum untuk menyusun ulang arsitektur sistem kepemiluan Indonesia. Pemilu nasional 2029 dan pemilu lokal 2031 akan memerlukan aturan transisional yang adil dan komprehensif,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa untuk jabatan eksekutif, seperti gubernur dan bupati, bisa diisi dengan penjabat sementara. Namun, bagi jabatan legislatif daerah, satu-satunya pilihan yang tersedia secara hukum adalah memperpanjang masa jabatan.

Baca Juga :  KPU Kabupaten Serang Siap Laksanakan Putusan MK untuk Gelar Pemungutan Suara Ulang Pilkada 2024

Tantangan Politik dan Hukum: Menjaga Legitimasi dalam Masa Transisi

Para ahli hukum tata negara menilai bahwa revisi UU Pemilu harus mempertimbangkan prinsip-prinsip akuntabilitas, legitimasi elektoral, dan efisiensi pemerintahan. Masa jabatan legislatif yang diperpanjang tanpa mandat rakyat harus dijelaskan secara tegas dalam norma hukum agar tidak memicu kontroversi politik maupun yudisial.

Komisi II DPR RI saat ini tengah menunggu keputusan Pimpinan DPR RI untuk memulai pembahasan resmi terhadap draf revisi UU Pemilu. Proses ini akan mencakup dialog dengan KPU, Bawaslu, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menandai langkah besar dalam reformasi sistem demokrasi elektoral di Indonesia. Dengan memisahkan pemilu nasional dan daerah, Mahkamah berharap penyelenggaraan pemilu menjadi lebih efektif, efisien, dan representatif.

Tantangan terbesar kini adalah bagaimana pemerintah dan DPR RI merumuskan aturan transisi yang tidak hanya konstitusional, tetapi juga mencerminkan keadilan elektoral dan menjamin hak politik rakyat.

  • Penulis: Redaksi Moralita

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less