Kamis, 7 Agu 2025
light_mode
Home » News » Asal-Usul Hajatan dan Tradisi Buwuh di Jawa, Dari Kearifan Lokal hingga Realita Ekonomi Modern

Asal-Usul Hajatan dan Tradisi Buwuh di Jawa, Dari Kearifan Lokal hingga Realita Ekonomi Modern

Oleh Redaksi Moralita — Sabtu, 21 Juni 2025 11:41 WIB

Moralita.com – Di berbagai wilayah Jawa, hajatan menjadi peristiwa sosial yang sarat makna, dari pesta pernikahan, khitanan, hingga tasyakuran, hajatan tidak hanya bermakna seremoni keluarga, tetapi juga bagian dari praktik sosial turun-temurun yang menegaskan jalinan solidaritas masyarakat.

Salah satu bagian tak terpisahkan dari hajatan di Jawa adalah tradisi ‘buwuh’ bentuk partisipasi tamu undangan dalam wujud amplop berisi uang sebagai sumbangan kepada tuan rumah.

Menariknya, hajatan kerap dilangsungkan dan merebak pada bulan Besar atau Dzulhijjah dalam kalender Hijriah. Dalam budaya Jawa, bulan ini diyakini sebagai waktu yang baik dan penuh berkah untuk menyelenggarakan berbagai acara penting.

Akar Budaya Hajatan, antara Spiritualitas dan Solidaritas Sosial

Secara etimologis, kata ‘hajatan’ berasal dari bahasa Arab ‘hajah’ yang berarti kebutuhan. Dalam konteks lokal, hajatan merujuk pada pemenuhan kebutuhan sosial dan spiritual, seperti mengadakan perayaan pernikahan atau khitanan, sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada tamu.

Baca Juga :  Resepsi Pernikahan Ning Ria Putri KH. Asep Saifuddin Chalim Dihadiri Tokoh Nasional dan Ulama Al-Azhar Mesir

Dalam masyarakat Jawa, hajatan bukan semata ritual keluarga, tetapi juga momentum pengikat hubungan sosial. Seringkali, kesuksesan sebuah hajatan dinilai bukan hanya dari kemewahannya, tetapi dari berapa banyak tamu yang hadir dan ‘buwuh’ yang terkumpul.

 

Tradisi Buwuh: Dari Gotong Royong hingga ‘Investasi Sosial’

‘Buwuh’ menjadi sistem sosial tak tertulis yang bertumpu pada asas timbal balik dan gotong royong. Ketika seseorang menghadiri hajatan dan memberikan buwuh, secara tidak langsung mereka mencatat ‘tabungan sosial’ yang kelak dapat diklaim ketika menyelenggarakan hajatan sendiri.

Menurut Siti Nurhayati, Antropolog Budaya Surabaya, buwuh bisa dimaknai sebagai bentuk modal sosial.

“Di desa-desa di Jawa Timur, ada semacam ‘buku buwuh’ yang disimpan keluarga. Siapa memberi berapa, nanti akan dikembalikan setimpal. Ini bukan utang, tapi bentuk jaring pengaman sosial yang lahir dari kearifan lokal,” jelasnya.

Namun, di era modern, buwuh juga mendapat kritik. Ada kekhawatiran bahwa hajatan berubah menjadi beban ekonomi, karena tekanan sosial untuk ‘mengembalikan’ buwuh dalam jumlah yang setara bahkan mewah, meski secara finansial tidak selalu mampu.

Baca Juga :  Resepsi Pernikahan Ning Ria Putri KH. Asep Saifuddin Chalim Dihadiri Tokoh Nasional dan Ulama Al-Azhar Mesir

 

Bulan Besar, Mengapa Jadi Pilihan Utama?

Bulan Dzulhijjah atau dalam tradisi Jawa dikenal sebagai Bulan Besar dipilih karena alasan budaya dan religius. Di masa lalu, bulan ini bertepatan dengan berakhirnya masa panen. Dengan kondisi ekonomi yang relatif lebih baik, masyarakat merasa lebih siap menyelenggarakan hajatan besar.

Dalam aspek spiritual, bulan ini juga dianggap penuh keberkahan karena bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha dan pelaksanaan ibadah haji. Banyak masyarakat percaya, keberkahan bulan besar akan menular pada hajatan yang digelar di waktu tersebut.

Selain itu, secara praktis, bulan ini menjadi momen libur panjang bagi anak sekolah, sehingga lebih memudahkan mobilisasi tamu undangan terutama bagi keluarga yang memiliki saudara di luar kota.

Baca Juga :  Resepsi Pernikahan Ning Ria Putri KH. Asep Saifuddin Chalim Dihadiri Tokoh Nasional dan Ulama Al-Azhar Mesir

 

Dilema Hajatan di Era Modern, Antara Tradisi dan Rasionalitas Ekonomi

Di sisi lain, dinamika ekonomi modern membawa tantangan tersendiri. Tidak sedikit keluarga memaksakan diri menyelenggarakan hajatan mewah demi gengsi sosial. Kredit konsumtif dan utang untuk hajatan menjadi tren di beberapa daerah.

Namun, di saat bersamaan, muncul juga gerakan sosial yang mendorong hajatan sederhana tapi bermartabat tetap mengedepankan nilai syukur dan silaturahmi, tanpa harus memaksakan diri dalam bentuk finansial yang memberatkan.

Tradisi hajatan dan buwuh di Jawa adalah warisan sosial yang merepresentasikan kekuatan solidaritas dan nilai-nilai gotong royong masyarakat. Di tengah modernisasi dan tuntutan ekonomi yang kompleks, diperlukan kearifan dalam menyeimbangkan antara penghormatan terhadap budaya dengan rasionalitas sosial dan ekonomi.

Dengan begitu, hajatan akan tetap menjadi perayaan syukur yang membahagiakan bukan beban yang membebat masyarakat.

 

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less