Jakarta, Moralita.com – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) secara resmi menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Dua di antaranya merupakan pejabat tinggi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Abdul Qohar, menyampaikan bahwa para tersangka yang ditetapkan adalah Zainuddin Mappa (ZM), mantan Direktur Utama PT Bank DKI Jakarta pada tahun 2020; DS, pejabat PT Bank BJB yang menjabat sebagai Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial pada tahun yang sama; serta ISL, Direktur Utama PT Sritex periode 2005–2022.
Penetapan ini dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan intensif terhadap 46 orang saksi, 9 saksi tambahan, serta 1 orang ahli. Penyidik juga mengumpulkan bukti-bukti yang dianggap cukup untuk menjerat para tersangka.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan dan alat bukti yang dikumpulkan, penyidik menetapkan ketiganya sebagai tersangka karena diduga kuat telah melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Bank DKI dan Bank BJB kepada PT Sritex,” ungkap Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba.
Rincian Kerugian Negara dan Kredit Bermasalah
Abdul Qohar menjelaskan bahwa kerugian keuangan negara akibat kredit bermasalah ini mencapai Rp3,58 triliun, berdasarkan data tagihan yang belum dilunasi hingga Oktober 2024. Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Bank Jateng: Rp395,66 miliar
- Bank BJB dan Bank Banten: Rp543,98 miliar
- Bank DKI: Rp149,79 juta
- Bank Sindikasi (BNI, BRI, dan LPEI): Rp2,5 triliun
Selain dari bank-bank pemerintah, PT Sritex juga menerima kredit dari sedikitnya 20 bank swasta lainnya.
Penyidik menemukan bahwa dalam proses pemberian kredit, para tersangka melanggar prosedur dan prinsip kehati-hatian. Salah satu pelanggaran mencolok adalah pemberian kredit modal kerja kepada PT Sritex meskipun hasil pemeringkatan dari lembaga Moody’s menunjukkan peringkat BB-, yang berarti risiko gagal bayar sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan perbankan, kredit tanpa agunan hanya boleh diberikan kepada debitur dengan peringkat minimal A.
Penyalahgunaan Dana dan Status Kepailitan
Diketahui pula bahwa dana kredit yang diterima oleh PT Sritex tidak digunakan sesuai tujuan yaitu untuk modal kerja, melainkan untuk membayar utang lama dan membeli aset non-produktif. Hal ini bertentangan dengan syarat dan ketentuan kredit yang telah disepakati.
Kondisi keuangan PT Sritex juga menjadi sorotan. Pada 2020, perusahaan masih mencatatkan laba bersih sebesar Rp1,24 triliun. Namun, pada tahun 2021, perusahaan mencatat kerugian senilai USD1,008 miliar atau sekitar Rp15,65 triliun. Kejanggalan ini menjadi salah satu fokus utama penyidikan.
Akibat dari pemberian kredit yang tidak sesuai ketentuan dan tidak disertai jaminan yang memadai, aset milik PT Sritex saat ini tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara karena nilainya lebih rendah dari jumlah kredit yang diberikan.
Sebagai tambahan, PT Sritex telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang melalui putusan perkara Nomor 2/PDT.SUS/Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
Abdul Qohar menegaskan bahwa proses hukum akan terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka tambahan apabila ditemukan bukti keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.
Penutup penurup.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh lembaga keuangan, baik milik negara maupun daerah, untuk senantiasa menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, transparansi, dan integritas dalam menjalankan praktik pemberian kredit. Penyidikan Kejagung terus berlanjut guna menegakkan hukum dan memulihkan kerugian negara secara maksimal.
Discussion about this post