Jumat, 17 Okt 2025
light_mode
Home » News » Dugaan Pungutan Berkedok “Sumbangan” di Sekolah Negeri Kota Kediri, Jargon Sekolah Gratis Dipertanyakan

Dugaan Pungutan Berkedok “Sumbangan” di Sekolah Negeri Kota Kediri, Jargon Sekolah Gratis Dipertanyakan

Oleh Redaksi — Jumat, 29 Agustus 2025 14:32 WIB

Kediri, Moralita.com – Program sekolah gratis di jenjang SMA/SMK Negeri Kota Kediri, Jawa Timur, dipertanyakan keabsahannya. Pasalnya, praktik dugaan pungutan liar (pungli) dengan dalih sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) atau kontribusi rutin bulanan masih ditemukan di sejumlah sekolah negeri.

Berdasarkan penelusuran Kediri Post, rata-rata wali murid di sejumlah SMA/SMK Negeri di Kota Kediri diminta menyetor antara Rp120 ribu hingga Rp150 ribu setiap bulan. Praktik ini membuat jargon sekolah gratis yang digaungkan pemerintah seolah hanya sebatas retorika, tanpa realisasi nyata.

Di SMAN 7 Kota Kediri, misalnya, ditemukan bukti surat pernyataan kesediaan memberikan sumbangan senilai Rp125 ribu per siswa setiap bulan. Surat tersebut wajib ditulis tangan oleh wali murid di kelas, dengan redaksi yang sudah dicontohkan di papan tulis.

Salah satu wali murid berinisial N mengaku terpaksa menulis pernyataan itu.

“Kami dikumpulkan di kelas, lalu disuruh menyalin redaksi pernyataan kesediaan menyumbang tanpa paksaan. Padahal, redaksinya sudah ditentukan. Jadi mau tidak mau harus menulis, terpaksa,” ungkapnya.

Baca Juga :  Ijazah Salah Satu Anggota DPRD Kabupaten Kediri Disinyalir Palsu, FKI-1 Ungkap Hasil Investigasinya

Selain pungutan bulanan, wali murid juga diwajibkan membeli paket seragam sekolah senilai Rp2,4 juta. Paket itu berisi lima stel kain seragam, mulai dari seragam nasional, khas sekolah, hingga olahraga. Seragam masih berupa kain, sehingga orang tua harus menanggung biaya jahit secara mandiri.

“Saat daftar ulang, langsung diminta membayar dan mengambil kain seragam di sekolah. Ya, mau tidak mau kami beli,” ujar seorang wali murid lain.

Merujuk Permendikbud No. 75 Tahun 2016 Pasal 10 tentang Komite Sekolah, komite diperbolehkan menggalang dana dalam bentuk sumbangan atau bantuan, namun bukan pungutan.

  • Sumbangan: bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, tanpa besaran dan jangka waktu tertentu.
  • Pungutan: bersifat wajib, mengikat, dengan nominal serta jangka waktu yang sudah ditentukan.

Dengan demikian, praktik yang disebut sebagai “sumbangan sukarela” di SMAN 7 lebih tepat dikategorikan sebagai pungutan, karena nominal dan tenggat waktunya sudah ditetapkan setiap bulan.

Baca Juga :  Pemkab Jombang Serius Usulkan Flyover Bandarkedungmulyo ke Pusat, Solusi Jangka Panjang untuk Atasi Kemacetan Arus Tol-Kediri-Nganjuk

Kepala SMAN 7 Kota Kediri, Lukijan, membenarkan adanya surat pernyataan tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa kontribusi itu tidak bersifat wajib.

“Itu tidak wajib. Tidak menyumbang juga tidak apa-apa. Besarannya pun sesuai kemampuan masing-masing,” kata Lukijan saat dihubungi melalui telepon.

Terkait redaksi surat yang ditirukan wali murid, Lukijan berdalih bahwa itu hanya sekadar contoh.

“Kalau wali murid ingin membuat redaksi sendiri, silakan. Tidak ada paksaan,” ujarnya.

Mengenai pembelian seragam, ia juga menegaskan tidak ada kewajiban.

“Sampai sekarang masih ada siswa yang tidak membeli seragam dari sekolah,” tambahnya.

Saat ditanya berapa jumlah siswa yang tidak membeli seragam, Lukijan mengaku belum mengetahui secara pasti.

Lebih lanjut, wali murid mengeluhkan adanya unggahan daftar siswa yang sudah dan belum membayar bulanan di grup WhatsApp kelas. Nama-nama siswa ditandai dengan tanda centang, sehingga menimbulkan kesan diskriminatif terhadap mereka yang belum membayar.

Baca Juga :  KH. Asep Saifuddin Chalim Tegaskan Pendidikan Harus Gratis di Kabupaten Mojokerto, Pungli Berawal Praktik Jual Beli Jabatan Kepala Sekolah

Namun, Lukijan membantah hal tersebut.

“Sekolah tidak pernah mengunggah daftar itu di grup. Itu tidak boleh. Siapa yang mengunggah? Saya juga ingin tahu,” katanya dengan nada bertanya.

Kasus dugaan pungutan berkedok sumbangan di sekolah negeri Kota Kediri memperlihatkan adanya celah antara regulasi dan praktik di lapangan. Meski pihak sekolah berdalih tidak ada paksaan, pola penarikan dana rutin dengan nominal tetap menunjukkan indikasi pungutan. Hal ini sekaligus mempertanyakan komitmen pemerintah daerah terhadap program sekolah gratis di tingkat SMA/SMK.

  • Author: Redaksi

Tulis Komentar Anda (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less