Rabu, 15 Okt 2025
light_mode
Home » News » Fenomena Inflasi IPK: Antara Prestasi Akademik dan Krisis Standar Pendidikan Tinggi

Fenomena Inflasi IPK: Antara Prestasi Akademik dan Krisis Standar Pendidikan Tinggi

Oleh Redaksi — Senin, 30 Juni 2025 07:49 WIB

Jakarta, Moralita.com – Istilah inflasi selama ini lekat dengan dunia ekonomi, merujuk pada kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, sebagaimana didefinisikan oleh Bank Indonesia. Namun kini, istilah serupa juga digunakan untuk menggambarkan dinamika di sektor pendidikan tinggi: inflasi IPK.

Fenomena ini merujuk pada tren meningkatnya rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa sarjana dari tahun ke tahun di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kenaikan tersebut menimbulkan pertanyaan krusial: apakah ini mencerminkan peningkatan mutu akademik, atau justru mengindikasikan pelonggaran standar evaluasi?

Data dari Universitas Padjadjaran (Unpad) menunjukkan bahwa rata-rata IPK lulusannya mengalami tren kenaikan yang konsisten selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan Unpad dalam Angka 2023, IPK rata-rata lulusan pada 2019 tercatat 3,48, kemudian naik berturut-turut menjadi 3,50 (2020), 3,51 (2021), 3,57 (2022), dan mencapai 3,62 pada 2023.

Pihak Unpad menilai bahwa tren ini mencerminkan keberhasilan strategi akademik dan penguatan sistem pembelajaran di kampus. Peningkatan ini dianggap sebagai indikator keberhasilan institusi dalam mendorong pencapaian akademik yang lebih tinggi dari tahun ke tahun.

Fenomena serupa juga terlihat di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari sejumlah artikel yang dipublikasikan di laman resmi universitas, diketahui bahwa rata-rata IPK lulusan sarjana UGM dalam beberapa periode wisuda terakhir juga berada di atas angka 3,50—meskipun data yang tersedia tidak sepenuhnya komprehensif untuk semua periode.

Secara nasional, tren serupa pun terjadi. Berdasarkan data agregat dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, rata-rata IPK nasional meningkat dari 3,18 pada 2018 menjadi 3,33 pada 2022, dan kemudian naik lagi menjadi 3,39 pada 2023.

Baca Juga :  UGM Respons Insiden Tabrakan Mahasiswa, Hormati Proses Hukum dan Tegakkan Aturan Internal

Mengacu pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020, sistem penilaian akademik di perguruan tinggi Indonesia menggunakan skala 0 hingga 4. Mahasiswa yang memperoleh IPK antara 2,76 hingga 3,00 lulus dengan predikat Memuaskan, IPK 3,01 hingga 3,50 memperoleh predikat Sangat Memuaskan, sedangkan IPK di atas 3,50 berhak menyandang predikat Dengan Pujian atau Cum Laude.

Dengan meningkatnya IPK rata-rata, jumlah lulusan Cum Laude pun melonjak. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai hasil dari peningkatan mutu pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini juga memunculkan kekhawatiran mengenai terjadinya inflasi IPK—yakni ketika nilai tinggi menjadi begitu umum hingga kehilangan makna selektifnya.

Rektor Institut Media Digital EMTEK, Totok Amin Soefijanto, menyebut bahwa fenomena peningkatan IPK ini bukanlah hal baru. Ia mencontohkan kasus serupa yang pernah terjadi di Harvard University pada awal 2000-an.

“Saya sempat terkejut ketika mengetahui ada universitas yang rata-rata IPK lulusannya di atas 3,5. Padahal, angka itu sudah masuk kategori cum laude di standar internasional,” ujarnya kepada , Kamis (26/6/2025).

Totok menilai bahwa peningkatan IPK bisa jadi disebabkan oleh perbaikan fasilitas, literasi digital, dan akses informasi yang lebih baik. Namun ia menekankan bahwa faktor dosen memiliki pengaruh yang sangat besar. Ia menduga bahwa dosen masa kini cenderung lebih permisif dalam memberikan nilai.

“Dulu dapat IPK 3,0 saja sudah luar biasa. Sekarang rata-rata mahasiswa bisa tembus 3,5 ke atas. Artinya, mungkin ada penurunan standar atau perubahan cara pandang dosen dalam menilai,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pergeseran ekspektasi dari mahasiswa generasi Z dan Alpha yang menuntut agar proses belajar dihargai, bukan hanya hasil akhir. Hal ini, menurut Totok, dapat mendorong dosen untuk lebih lunak dalam evaluasi akademik.

Baca Juga :  Bareskrim Polri Pastikan Keaslian Ijazah S1 Presiden Jokowi dari UGM

Totok menyarankan agar spektrum penilaian dari B hingga A diperjelas kembali. “Harus ada kejelasan lagi: apa arti A, A-, B+ itu? Siapa yang layak dapat nilai tersebut?” tegasnya.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, melihat tren kenaikan IPK sebagai fenomena kompleks. Di satu sisi, hal ini bisa mencerminkan perbaikan proses pendidikan. Namun ia mengingatkan bahwa lonjakan nilai juga bisa menjadi gejala dari pelonggaran standar.

“Bisa jadi terjadi yang namanya sedekah nilai. Di sekolah kita kenal istilah itu, dan di kampus pun bisa terjadi,” ujarnya kepada Tirto.

Ubaid menilai bahwa tekanan institusional untuk menunjukkan ‘mutu akademik’ bisa mendorong kampus-kampus untuk menampilkan data IPK tinggi, meskipun tidak mencerminkan kompetensi riil lulusan. “Nyatanya, banyak lulusan dengan IPK tinggi yang masih lemah dalam daya saing di industri,” tambahnya.

Menurutnya, dunia kerja kini lebih mengutamakan soft skills dan hard skills seperti kolaborasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan pengalaman kerja nyata. IPK tinggi, jika tidak disertai keterampilan aplikatif, menjadi kurang relevan di pasar tenaga kerja.

Dosen dan pakar ketenagakerjaan dari Universitas Tidar, Arif Novianto, memandang fenomena inflasi IPK sebagai gejala dari krisis yang lebih luas dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.

“Dalam situasi pendidikan tinggi yang semakin komersial dan kompetitif, IPK telah berubah menjadi simbol prestise semu, bukan lagi ukuran autentik pencapaian intelektual,” jelasnya.

Menurut Arif, IPK tinggi tanpa kompetensi sejati hanya akan menciptakan jebakan meritokrasi semu. Hal ini memperlemah kepercayaan dunia kerja terhadap lulusan perguruan tinggi dan bisa mendorong kembali pada pola rekrutmen berbasis koneksi, asal kampus, atau afiliasi sosial tertentu.

Baca Juga :  Bareskrim Polri Pastikan Keaslian Ijazah S1 Presiden Jokowi dari UGM

Ia juga menilai bahwa sistem pendidikan saat ini lebih mengedepankan pendekatan banking education ala Paulo Freire, di mana mahasiswa hanya menjadi objek pasif penerima informasi. “Mahasiswa hanya mengejar IPK dan lulus cepat, tanpa diajak berpikir kritis atau reflektif,” ujarnya.

Arif menilai akar dari permasalahan ini adalah komersialisasi pendidikan dan kehilangan orientasi emansipatoris dalam kurikulum. Semua aktor pendidikan—mahasiswa, dosen, hingga institusi—terjebak dalam logika IPK tinggi sebagai simbol keberhasilan, padahal substansi pendidikan semakin terkikis.

Fenomena inflasi IPK di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan tinggi saat ini menghadapi dilema antara pencapaian numerik dan kualitas substantif. Meningkatnya angka IPK perlu disikapi secara kritis, bukan hanya dengan rasa bangga, tetapi juga dengan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penilaian, metode pengajaran, dan relevansi kurikulum terhadap dunia nyata.

Jika tidak diimbangi dengan penguatan kualitas, ketatnya standar, dan kejelasan makna nilai akademik, maka kenaikan IPK berisiko menjadi ilusi kemajuan yang justru menjauhkan pendidikan tinggi dari tujuan utamanya: mencetak insan yang cerdas, kompeten, dan berdaya saing tinggi di tengah tantangan global.

  • Author: Redaksi

Tulis Komentar Anda (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less