light_mode
expand_less
NewsOtomotifPendidikan

Fenomena Inflasi IPK: Antara Prestasi Akademik dan Krisis Standar Pendidikan Tinggi

  • account_circle Redaksi Moralita
  • calendar_month 30 Juni 2025 pukul 07:49
Ilustrasi kelulusan mahasiswa perguruan tinggi.

Jakarta, Moralita.com – Istilah inflasi selama ini lekat dengan dunia ekonomi, merujuk pada kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, sebagaimana didefinisikan oleh Bank Indonesia. Namun kini, istilah serupa juga digunakan untuk menggambarkan dinamika di sektor pendidikan tinggi: inflasi IPK.

Fenomena ini merujuk pada tren meningkatnya rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa sarjana dari tahun ke tahun di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kenaikan tersebut menimbulkan pertanyaan krusial: apakah ini mencerminkan peningkatan mutu akademik, atau justru mengindikasikan pelonggaran standar evaluasi?

Data dari Universitas Padjadjaran (Unpad) menunjukkan bahwa rata-rata IPK lulusannya mengalami tren kenaikan yang konsisten selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan Unpad dalam Angka 2023, IPK rata-rata lulusan pada 2019 tercatat 3,48, kemudian naik berturut-turut menjadi 3,50 (2020), 3,51 (2021), 3,57 (2022), dan mencapai 3,62 pada 2023.

Pihak Unpad menilai bahwa tren ini mencerminkan keberhasilan strategi akademik dan penguatan sistem pembelajaran di kampus. Peningkatan ini dianggap sebagai indikator keberhasilan institusi dalam mendorong pencapaian akademik yang lebih tinggi dari tahun ke tahun.

Fenomena serupa juga terlihat di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari sejumlah artikel yang dipublikasikan di laman resmi universitas, diketahui bahwa rata-rata IPK lulusan sarjana UGM dalam beberapa periode wisuda terakhir juga berada di atas angka 3,50—meskipun data yang tersedia tidak sepenuhnya komprehensif untuk semua periode.

Secara nasional, tren serupa pun terjadi. Berdasarkan data agregat dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, rata-rata IPK nasional meningkat dari 3,18 pada 2018 menjadi 3,33 pada 2022, dan kemudian naik lagi menjadi 3,39 pada 2023.

Baca Juga :  UGM Respons Insiden Tabrakan Mahasiswa, Hormati Proses Hukum dan Tegakkan Aturan Internal

Mengacu pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020, sistem penilaian akademik di perguruan tinggi Indonesia menggunakan skala 0 hingga 4. Mahasiswa yang memperoleh IPK antara 2,76 hingga 3,00 lulus dengan predikat Memuaskan, IPK 3,01 hingga 3,50 memperoleh predikat Sangat Memuaskan, sedangkan IPK di atas 3,50 berhak menyandang predikat Dengan Pujian atau Cum Laude.

Dengan meningkatnya IPK rata-rata, jumlah lulusan Cum Laude pun melonjak. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai hasil dari peningkatan mutu pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini juga memunculkan kekhawatiran mengenai terjadinya inflasi IPK—yakni ketika nilai tinggi menjadi begitu umum hingga kehilangan makna selektifnya.

Rektor Institut Media Digital EMTEK, Totok Amin Soefijanto, menyebut bahwa fenomena peningkatan IPK ini bukanlah hal baru. Ia mencontohkan kasus serupa yang pernah terjadi di Harvard University pada awal 2000-an.

“Saya sempat terkejut ketika mengetahui ada universitas yang rata-rata IPK lulusannya di atas 3,5. Padahal, angka itu sudah masuk kategori cum laude di standar internasional,” ujarnya kepada , Kamis (26/6/2025).

Totok menilai bahwa peningkatan IPK bisa jadi disebabkan oleh perbaikan fasilitas, literasi digital, dan akses informasi yang lebih baik. Namun ia menekankan bahwa faktor dosen memiliki pengaruh yang sangat besar. Ia menduga bahwa dosen masa kini cenderung lebih permisif dalam memberikan nilai.

“Dulu dapat IPK 3,0 saja sudah luar biasa. Sekarang rata-rata mahasiswa bisa tembus 3,5 ke atas. Artinya, mungkin ada penurunan standar atau perubahan cara pandang dosen dalam menilai,” jelasnya.

Baca Juga :  Bareskrim Polri Pastikan Keaslian Ijazah S1 Presiden Jokowi dari UGM

Ia juga menyoroti pergeseran ekspektasi dari mahasiswa generasi Z dan Alpha yang menuntut agar proses belajar dihargai, bukan hanya hasil akhir. Hal ini, menurut Totok, dapat mendorong dosen untuk lebih lunak dalam evaluasi akademik.

Totok menyarankan agar spektrum penilaian dari B hingga A diperjelas kembali. “Harus ada kejelasan lagi: apa arti A, A-, B+ itu? Siapa yang layak dapat nilai tersebut?” tegasnya.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, melihat tren kenaikan IPK sebagai fenomena kompleks. Di satu sisi, hal ini bisa mencerminkan perbaikan proses pendidikan. Namun ia mengingatkan bahwa lonjakan nilai juga bisa menjadi gejala dari pelonggaran standar.

“Bisa jadi terjadi yang namanya sedekah nilai. Di sekolah kita kenal istilah itu, dan di kampus pun bisa terjadi,” ujarnya kepada Tirto.

Ubaid menilai bahwa tekanan institusional untuk menunjukkan ‘mutu akademik’ bisa mendorong kampus-kampus untuk menampilkan data IPK tinggi, meskipun tidak mencerminkan kompetensi riil lulusan. “Nyatanya, banyak lulusan dengan IPK tinggi yang masih lemah dalam daya saing di industri,” tambahnya.

Menurutnya, dunia kerja kini lebih mengutamakan soft skills dan hard skills seperti kolaborasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan pengalaman kerja nyata. IPK tinggi, jika tidak disertai keterampilan aplikatif, menjadi kurang relevan di pasar tenaga kerja.

Dosen dan pakar ketenagakerjaan dari Universitas Tidar, Arif Novianto, memandang fenomena inflasi IPK sebagai gejala dari krisis yang lebih luas dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.

“Dalam situasi pendidikan tinggi yang semakin komersial dan kompetitif, IPK telah berubah menjadi simbol prestise semu, bukan lagi ukuran autentik pencapaian intelektual,” jelasnya.

Baca Juga :  Bareskrim Polri Pastikan Keaslian Ijazah S1 Presiden Jokowi dari UGM

Menurut Arif, IPK tinggi tanpa kompetensi sejati hanya akan menciptakan jebakan meritokrasi semu. Hal ini memperlemah kepercayaan dunia kerja terhadap lulusan perguruan tinggi dan bisa mendorong kembali pada pola rekrutmen berbasis koneksi, asal kampus, atau afiliasi sosial tertentu.

Ia juga menilai bahwa sistem pendidikan saat ini lebih mengedepankan pendekatan banking education ala Paulo Freire, di mana mahasiswa hanya menjadi objek pasif penerima informasi. “Mahasiswa hanya mengejar IPK dan lulus cepat, tanpa diajak berpikir kritis atau reflektif,” ujarnya.

Arif menilai akar dari permasalahan ini adalah komersialisasi pendidikan dan kehilangan orientasi emansipatoris dalam kurikulum. Semua aktor pendidikan—mahasiswa, dosen, hingga institusi—terjebak dalam logika IPK tinggi sebagai simbol keberhasilan, padahal substansi pendidikan semakin terkikis.

Fenomena inflasi IPK di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan tinggi saat ini menghadapi dilema antara pencapaian numerik dan kualitas substantif. Meningkatnya angka IPK perlu disikapi secara kritis, bukan hanya dengan rasa bangga, tetapi juga dengan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penilaian, metode pengajaran, dan relevansi kurikulum terhadap dunia nyata.

Jika tidak diimbangi dengan penguatan kualitas, ketatnya standar, dan kejelasan makna nilai akademik, maka kenaikan IPK berisiko menjadi ilusi kemajuan yang justru menjauhkan pendidikan tinggi dari tujuan utamanya: mencetak insan yang cerdas, kompeten, dan berdaya saing tinggi di tengah tantangan global.

  • Penulis: Redaksi Moralita

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Suwandy Firdaus, Ketua Tim Pemenangan Khofifah-Emil dan Mubarok (Gus Barra-dr. Rizal) Kabupaten Mojokerto.

    Ketua Tim Pemenangan Khofifah-Emil Kabupaten Mojokerto, Suwandy Firdaus Apresiasi Putusan Dismissal MK

    • calendar_month Rab, 5 Feb 2025
    • account_circle Redaksi Moralita
    • 0Komentar

    Mojokerto, Moralita.com – Ketua Tim Pemenangan Khofifah-Emil Kabupaten Mojokerto, Dr. Suwandy Firdaus, memberikan apresiasi tinggi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Dengan putusan ini, kemenangan pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode […]

  • Eric Thohir dalam menyamoaikan pemecatan Shin Tae Yong konferensi pers yang digelar di Menara Danareksa, Aryanusa Ballroom 1, Jakarta, Senin, (6/1).

    PSSI Resmi Pecat Shin Tae-yong, Alasan Evaluasi, dan Harapan Baru untuk Timnas Indonesia Piala Dunia 2026

    • calendar_month Sen, 6 Jan 2025
    • account_circle Redaksi Moralita
    • 0Komentar

    Jakarta, Moralita.com – Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) secara resmi mengakhiri kerja sama dengan Shin Tae-yong sebagai pelatih Timnas Indonesia. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menjelaskan alasan utama pemecatan ini adalah kebutuhan akan pemimpin yang mampu menerapkan strategi yang lebih terkoordinasi dan efektif, serta memperbaiki komunikasi dan implementasi program di lingkungan Timnas. Dalam konferensi […]

  • Pagelaran Blitar Jadoel 2025.

    Pagelaran Blitar Djadoel 2025 Dinilai Tak Berpihak pada PKL Lokal, Ratusan Pedagang Tersingkir

    • calendar_month Sel, 17 Jun 2025
    • account_circle Redaksi Moralita
    • 0Komentar

    Blitar, Moralita.com – Ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) lokal menyampaikan kekecewaannya terhadap penyelenggaraan acara tahunan Blitar Djadoel 2025 yang digelar di Alun-Alun Kota Blitar. Meski mengusung tajuk “Pesta Rakyat”, kegiatan ini justru dinilai tidak berpihak pada pelaku usaha kecil setempat. Banyak PKL mengaku tersisih karena tidak memperoleh akses berjualan secara layak, kecuali dengan membayar biaya sewa […]

  • Kondisi mayat wanita saat ditemukan di Sungai Glondok Kecamatan Licin Banyuwangi dan dievakuasi oleh relawan.

    Mayat Wanita Ditemukan Membusuk di Sungai Licin Banyuwangi, Organ Tubuh Ada yang Hilang

    • calendar_month Ming, 5 Jan 2025
    • account_circle Redaksi Moralita
    • 0Komentar

    Banyuwangi, Moralita.com –  Warga Dusun Glondok, Desa Licin, Kecamatan Licin, Banyuwangi, digegerkan oleh penemuan sesosok mayat wanita di aliran sungai pada Sabtu (4/1). Mayat yang ditemukan dalam kondisi membusuk dan tanpa busana itu menimbulkan misteri karena beberapa organ dalamnya hilang. Hingga kini, identitas jenazah belum berhasil diungkap.   Kapolsek Licin, AKP Achmad Junaedi, menjelaskan bahwa […]

  • Ketua DPC PDIP Bondowoso, Irwan Bachtiar Rahmat, Resmi Ditahan Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp 2,3 Miliar

    Ketua DPC PDIP Bondowoso, Irwan Bachtiar Rahmat, Resmi Ditahan Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp 2,3 Miliar

    • calendar_month Sab, 15 Feb 2025
    • account_circle Redaksi Moralita
    • 0Komentar

    Bondowoso, Moralita.com – Ketua DPC PDIP Bondowoso, Irwan Bachtiar Rahmat, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan dana hibah tahun 2023. Sosok yang juga sebagai Wakil Bupati Bondowoso periode 2018-2023 tersebut telah ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso pada Kamis (13/2). Sekretaris DPC PDIP Bondowoso, Sinung Sudrajad, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu arahan dari […]

  • Gedung MPR, DPR, DPD RI di Jakarta.

    KPK Periksa Sejumlah Saksi Dugaan Gratifikasi Rp17 Miliar di Sekretariat Jenderal MPR RI

    • calendar_month Rab, 25 Jun 2025
    • account_circle Redaksi Moralita
    • 0Komentar

    Jakarta, Moralita.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (Setjen MPR) RI. Sejumlah saksi telah diperiksa guna mengungkap aliran gratifikasi yang diduga mencapai Rp17 miliar. Pada Rabu (25/6), KPK memanggil dua saksi kunci dalam perkara ini, yakni Kartika Indarti Sekarsari, […]

expand_less