Ikhlas atau Dipaksa? Mediasi Polemik Jalan Pertanian Desa Kedunguneng Mojokerto, Libatkan Tanah Warga Tanpa Legalitas
Oleh Alief — Kamis, 16 Oktober 2025 22:44 WIB; ?>

Musyawarah di aula Kecamatan Bangsal terkait polemik tanah warga dipakai untuk JUT Desa Kedunguneng.
Mojokerto, Moralita.com – Sejumlah warga pemilik 22 bidang tanah di Desa Kedunguneng, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto, menggelar mediasi dengan Pemerintah Desa (Pemdes), Camat Bangsal, dan Asisten I Sekretariat Daerah Kabupaten Mojokerto di Aula Kecamatan Bangsal, Kamis (16/10).
Mediasi lanjutan ini dilakukan untuk mencari kejelasan status kepemilikan sebagian tanah warga yang telah digunakan sebagai jalur pertanian atau Jalan Usaha Tani (JUT).
Baca Sebelumnya : Warga Desa Kedunguneng Mojokerto Tuntut Ganti Rugi Tanahnya untuk Jalan Pertanian
Warga terdampak menilai, penggunaan lahan tersebut belum memiliki dasar hukum yang jelas serta belum disertai proses ganti rugi atau kompensasi sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Kepala Dusun Kedunguneng, Muhaimin mengatakan bahwa pembangunan JUT di lokasi tersebut berawal dari kebutuhan warga pada tahun 2019.
“Saat itu, kami melakukan musyawarah dusun dengan hasil bahwa jalur JUT dibangun selebar 2,5 meter dari bibir saluran dengan sistem urunan dari warga. Pembangunan itu terealisasi pada awal tahun 2020,” ungkapnya.
Menurut Muhaimin, warga yang saat itu hadir juga ikut dilibatkan dalam pekerjaan pembangunan agar memahami batas lokasi sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan.
Ia menambahkan bahwa hasil musyawarah kala itu juga menetapkan bahwa tanah bengkok desa tidak boleh digunakan untuk JUT, sehingga disepakati jalur JUT dibangun di sisi timur rumah warga (JUT etan omah).
Camat Bangsal, Liantoro Sugeng, menegaskan bahwa pembangunan JUT dilakukan berdasarkan kesepakatan warga pada saat musyawarah dusun.
“Karena sudah terjadi, berarti saat itu sudah disepakati bersama. Tidak mungkin JUT dibangun tanpa persetujuan warga. Aneh saja jika sesuatu yang memberi manfaat bagi masyarakat kini justru dipersoalkan, apalagi sekarang jalannya sudah nyata ada,” tegasnya.
Namun, sejumlah warga tetap mempertanyakan legalitas pembangunan tersebut. Zaini, warga Dusun Kedunguneng, menyoroti alasan Pemdes tidak menggunakan Tanah Kas Desa (TKD) untuk JUT.
“Kenapa tidak pakai TKD? Kenapa malah pakai tanah warga? padahal bersebelahan pas dengan TKD, Saat musyawarah dusun saat itu saya menolak! tapi dijawab dengan kesan ancaman bahwa TKD tidak boleh digunakan untuk JUT karena akan jadi persoalan hukum,” ujar Zaini.
Warga lainnya, Wahyuningsih, bahkan meminta agar pertemuan selanjutnya dilakukan langsung dengan Bupati Mojokerto, Gus Barra sebagai pemegang kebijakan tertinggi di daerah.
“Saya minta mediasi dengan Gus Bupati saja agar permasalahan ini segera menemukan titik temu,” lontarnya.
Asisten I Pemkab Mojokerto: Ikhlas Demi Asas Manfaat
Asisten I Sekretariat Daerah Kabupaten Mojokerto, Tatang Marhaendrata, yang mengatakan hadir atas perintah Bupati Mojokerto, menegaskan bahwa perbedaan pendapat merupakan hal wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
“Perbedaan pendapat itu rahmat. Forum ini tidak ada paksaan. Kalau semua didasari keikhlasan, maka itu kebaikan bersama karena untuk kemanfaatan umum,” ujar mantan Kabag Hukum ini.
Tatang menambahkan bahwa dirinya hadir ingin mengetahui duduk persoalannya secara utuh. Apa yang mendasari alasan sebelumnya sudah bersepakat, tapi akhir-akhir ini justru dipersoalkan.
“Bagaimana awalnya warga ikhlas, kok sekarang tidak ikhlas?” ujarnya.
Ia juga mencontohkan sejumlah kasus pembangunan infrastruktur jalan di Kabupaten Mojokerto yang kerap beririsan dengan tanah warga tetapi saat atas dasar asas kemanfaatan sehingga warga mengikhlaskan.
“Kalau dulunya sudah disepakati dan ikhlas, maka sekarang harusnya tetap ikhlas,” tegasnya.
Tatang juga melempar pertanyaan kepada warga yang hadir bahwa daftar hadir dalam musyawarah ini apakah dapat dijadikan bukti bahwa warga telah memberikan persetujuan.
“Daftar hadir ini kita anggap warga sudah ok ikhlas ya?, Pekan depan akan kita agendakan lagi pertemuan lanjutan di Pemkab Mojokerto,” celetuknya.
Tatang juga menyinggung terkait undangan mendadak minggu lalu kepada kuasa hukum warga yakni pihak (HMN) Harimau Nusantara Mojokerto itu hanya miskomunikasi.
Tatang juga menyebut pihaknya senang jika kasus ini sampai naik ke pengadilan, karena nantinya juga akan dimediasi terlebih dahulu di sana.
HMN sebagai Kuasa Hukum Warga: Hukum Tidak Bisa Dikesampingkan Atas Nama Keikhlasan
Sementara itu, kuasa hukum warga terdampak, Angga Supra Setya, menegaskan bahwa pihaknya menunggu tujuan mediasi malam ini untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah desa dari sisi hukum.
HMN juga mempertanyakan keberadaan apakah ada dokumen hibah dari masyarakat kepada pemerintah desa.
“Apakah ada dokumen hibah yang sah? Hal ini penting agar menjadi pembelajaran bagi desa-desa lain agar masyarakat tidak dirugikan dari sisi hukum di kemudian hari,” tegas Angga.
Lebih lanjut, Angga menilai sikap Asisten I Pemkab Mojokerto terkesan memaksakan penyelesaian berdasarkan keikhlasan tanpa memperhatikan aspek legalitas hukum.
“Pak Tatang jangan gebyah uyah seolah-olah memaksa warga untuk menyepakati sesuatu, tapi mengesampingkan hukum. Faktanya, saat musyawarah desa dulu, ada tekanan dari pihak Pemdes yang mengatakan bahwa jika JUT menggunakan TKD maka warga akan dihadapkan dengan masalah hukum. Padahal justru tindakan mengambil tanah warga tanpa dasar hukum bisa dikategorikan sebagai penyerobotan tanah,” ujarnya.
Angga juga menegaskan bahwa pihaknya sebenarnya telah siap membawa perkara ini ke ranah hukum formal.
“Kami sebenarnya bisa saja langsung menggugat ini ke pengadilan terkait dugaan penyerobotan tanah oleh Pemdes Kedunguneng. Namun kami masih menempuh jalur mediasi karena ingin melihat bagaimana pemerintah daerah memfasilitasi penyelesaian kasus ini secara adil dan sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
Pihak HMN sebagai kuasa hukum warga terdampak juga menegaskan tanpa dokumen pernyataan pelepasan hak yang sah dan spesifik, maka pelaksanaan pembangunan di atas tanah masyarakat dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari. Terlebih jika hak atas tanah tersebut masih tercantum dalam sertifikat resmi dan berpotensi diwariskan.
Dalam perspektif hukum perdata, Angga mendalilkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu harus adanya kesepakatan para pihak. Ia menekankan pentingnya perjanjian tertulis sebagai dasar legal dalam penyelesaian perkara tanah yang bersifat privat.
Secara normatif, penggunaan lahan milik pribadi untuk kepentingan umum harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang menegaskan bahwa setiap pengambil-alihan tanah wajib disertai ganti rugi yang layak dan adil.
Apabila pembangunan JUT di Desa Kedunguneng ini dilakukan tanpa dokumen hibah, surat pernyataan pelepasan hak, atau keputusan resmi kepala desa yang disahkan Bupati, maka tindakan tersebut berpotensi melanggar prinsip due process of law.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, hal ini juga dapat dikategorikan sebagai maladministrasi apabila terbukti Pemdes Kedunguneng mengabaikan prosedur legal formal dalam pembangunan fasilitas publik.
Polemik pembangunan JUT tanpa dokumen legal yang sah secara hukum di Desa Kedunguneng menjadi cermin penting bagi tata kelola pemerintahan desa dalam mengelola aset dan ruang publik.
Pemerintah daerah dituntut menyeimbangkan asas kemanfaatan dengan kepastian hukum agar kebijakan pembangunan tidak justru menimbulkan ketidakadilan baru di tingkat akar rumput.
Mediasi lanjutan di Pemkab Mojokerto pekan depan diharapkan menjadi momentum untuk menegaskan bahwa asas ‘keikhlasan’ tidak boleh meniadakan prinsip hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan berkeadilan.
Artikel terkait:
- Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim Beri Arahan Wali Santri Baru, Amanatul Ummah Cetak Ribuan Santri Lolos PTN dan Luar Negeri
- Rumah Polisi Mojokerto Meledak, Ini Penjelasan Puslabfor Polda Jatim
- Pemkab Mojokerto Instruksikan PT Enero Hentikan Sementara Operasional Akibat Pencemaran Bau ke Masyarakat
- Polemik Pemberhentian 3 Kepala Dusun di Desa Wotanmasjedong, PPDI Jatim Tuding Pemkab Kurang Cakap Memahami Regulasi
- Author: Alief
At the moment there is no comment