Kasus Laptop Chromebook: Kejagung Tetapkan Nadiem Makarim dan Empat Tersangka Lain, Kerugian Negara Capai Rp1,98 Triliun
Oleh Redaksi Moralita — Sabtu, 6 September 2025 09:32 WIB; ?>

Salah satu tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook yaitu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim.
Jakarta, Moralita.com – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) resmi menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, kini Kemendikbudristek) pada periode 2019–2022.
Tersangka terbaru adalah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, yang diumumkan sebagai tersangka pada Kamis (4/9). Empat tersangka lainnya yang lebih dulu ditetapkan yaitu:
- Jurist Tan, mantan staf khusus Nadiem.
- Ibrahim Arief, konsultan teknologi di lingkungan Kemendikbudristek.
- Mulyatsyah, Direktur SMP Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek (2020–2021).
- Sri Wahyuningsih, Direktur SD Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek (2020–2021).
Kejagung menduga, kelima tersangka bersekongkol untuk meloloskan pengadaan laptop berbasis Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan. Akibat persekongkolan ini, negara ditaksir mengalami kerugian hingga Rp1,98 triliun dari total anggaran sebesar Rp9,3 triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, mengungkap bahwa skema pengadaan sudah dibicarakan sebelum Nadiem resmi dilantik. Pada Agustus 2019, Nadiem bersama Jurist Tan dan Fiona Handayani membuat grup WhatsApp bernama “Mas Menteri Core Team”.
Dalam grup tersebut, mereka membahas rencana digitalisasi pendidikan dengan pengadaan perangkat berbasis sistem operasi Chrome OS. Padahal, saat itu program ini belum memiliki dasar hukum maupun perencanaan resmi.
Setelah dilantik pada 19 Oktober 2019, Nadiem intens melakukan koordinasi dengan staf khususnya. Jurist Tan ditugaskan menghubungi konsultan eksternal, salah satunya Ibrahim Arief, yang kemudian difasilitasi masuk ke Kemendikbudristek sebagai konsultan teknologi.
Pada Februari 2020, Nadiem juga mengadakan pertemuan dengan pihak Google Indonesia untuk membahas implementasi Google for Education dengan perangkat Chromebook. Kesepakatan pun dicapai agar sistem operasi Chrome OS dan perangkat manajemen Google (Chrome Device Management/CDM) masuk dalam proyek pengadaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Pada 6 Mei 2020, Nadiem menggelar rapat internal melalui Zoom. Peserta rapat, termasuk pejabat eselon di Kemendikbudristek, staf khusus, dan konsultan, diminta menggunakan headset untuk menjaga kerahasiaan. Dalam forum itu, Nadiem disebut telah memberikan arahan khusus untuk meloloskan Chromebook dalam pengadaan TIK.
Fakta lain menunjukkan, sebelum Nadiem menjabat, surat penawaran dari Google terkait partisipasi dalam pengadaan TIK sempat ditolak oleh Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy. Penolakan itu didasarkan pada hasil uji coba yang menyatakan Chromebook tidak layak digunakan, khususnya di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Pada 30 Juni 2020, pejabat Kemendikbudristek yakni Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah mengeksekusi arahan Nadiem.
- Sri Wahyuningsih mengganti pejabat pembuat komitmen (PPK) yang dianggap tidak sejalan, lalu memerintahkan PPK baru, Wahyu Hariadi, untuk menunjuk langsung PT Bhinneka Mentari Dimensi sebagai penyedia laptop.
- Pada hari yang sama, Mulyatsyah melakukan langkah serupa di lingkup SMP dengan mengarahkan PPK untuk menggunakan penyedia yang sama.
Selain itu, metode e-katalog diubah menjadi sistem SIPLah (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah) untuk mempermudah penunjukan vendor tunggal.
Program pengadaan laptop Chromebook berlangsung selama 2019–2022 dengan total 1,2 juta unit dan nilai anggaran Rp9,3 triliun. Namun, hasil evaluasi menunjukkan perangkat ini tidak dapat digunakan optimal karena membutuhkan koneksi internet stabil.
Kondisi ini tidak sesuai dengan realitas jaringan di Indonesia, terutama di daerah 3T. Akibatnya, program digitalisasi pendidikan justru tidak efektif, sementara negara mengalami kerugian besar.
Para tersangka dijerat dengan:
- Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
- Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Ancaman pidana yang menanti adalah hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar