LMKN Tegaskan Suara Burung Rekaman di Kafe Tetap Terkena Aturan Royalti
Oleh Redaksi — Sabtu, 9 Agustus 2025 11:30 WIB; ?>

Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dedy Kurniadi.
Jakarta, Moralita.com – Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dedy Kurniadi, menegaskan bahwa pemutaran suara burung di kafe atau tempat usaha sejenis tetap dapat dikenakan kewajiban pembayaran royalti, apabila suara tersebut merupakan hasil rekaman yang diproduksi oleh pihak tertentu.
Pernyataan ini disampaikan Dedy menanggapi pandangan publik yang muncul setelah LMKN menyatakan bahwa suara burung juga termasuk dalam objek perlindungan royalti.
“Sepanjang suara burung itu diproduksi oleh seorang produser, maka karya rekaman tersebut tetap masuk kategori karya yang wajib membayar royalti,” ujarnya di Kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta Selatan, Jumat (8/8).
Menurut Dedy, tren pemilik kafe memutar suara burung sebagai pengganti musik manusia mulai meningkat sejak LMKN memberlakukan penarikan royalti. Namun, ia menilai fenomena ini merupakan bentuk reaksi yang berlebihan.
“Bagi saya, suara penyanyi manusia dan lagu ciptaannya tetap lebih indah daripada suara burung. Perubahan selera ini lebih karena ada upaya LMKN memastikan pencipta dan penyanyi memperoleh haknya,” kata Dedy.
Ia menambahkan, “Saya kira ini reaksi yang agak berlebihan. Ke depan, kami akan meluruskan penerapan aturan ini, karena siapa yang tidak ingin para pencipta lagu di Indonesia hidup sejahtera?”
Sebelumnya, Ketua LMKN periode 2022–2025, Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa kafe yang memutar suara burung atau instrumen alam dapat diwajibkan membayar royalti jika suara tersebut telah melalui proses perekaman dan fiksasi oleh seseorang atau badan usaha.
Fiksasi, kata Dharma, adalah proses perekaman yang menghasilkan bentuk permanen atau stabil sehingga dapat dilihat, didengar, direproduksi, atau dikomunikasikan melalui berbagai perangkat. Dalam konteks hak cipta, fiksasi menjadi bukti bahwa sebuah karya suara telah diwujudkan dalam bentuk nyata yang dapat dilindungi hukum.
“Rekaman itu disebut produk fonogram, dan produsernya—baik perorangan maupun badan usaha—memiliki hak terkait yang dilindungi undang-undang,” jelas Dharma.
Selain instrumen alam dan suara burung, LMKN juga mengingatkan bahwa pemutaran lagu internasional di ruang publik, seperti kafe atau tempat usaha lain, juga wajib membayar royalti. Hal ini karena LMKN memiliki perjanjian timbal balik (reciprocal agreement) dengan berbagai negara.
“Lagu internasional juga dilindungi, begitu pula lagu Indonesia di luar negeri, karena LMK memiliki kesepakatan timbal balik dengan negara-negara lain di dunia,” tutupnya.
- Author: Redaksi
At the moment there is no comment