Menakar KUHAP Baru, Aktivis: Pengawasan Hakim Hilang, Peluang Kriminalisasi Masyaralat Melebar
Mojokerto, Moralita.com – Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disahkan DPR pada 18 November 2025 menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Pasal-pasal dalam KUHAP baru terkait penangkapan dan penahanan, yang seharusnya menjadi fondasi perlindungan hak-hak warga negara, justru dinilai mengalami regresi atau kemunduran demokratis.
Temuan tersebut diulas dalam analisis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, dan kini diperkuat oleh kritik dari Ketua DPD Ormas FKI-1 Mojokerto, Wiwit Hariyono, yang menilai KUHAP baru berpotensi menggerus prinsip judicial scrutiny dan membuka ruang kriminalisasi.
Isi Pasal Penangkapan: Tetap Tanpa Pengawasan Hakim
KUHAP terbaru, khususnya dalam Pasal 93–98, mempertahankan pola lama yakni penangkapan dilakukan murni atas kewenangan penyidik.
Beberapa poin penting:
Pasal 93
Penangkapan dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik.
PPNS hanya boleh menangkap atas perintah Polri.
KPK, Kejaksaan, dan TNI AL menjadi pengecualian.
Pasal 94
Penangkapan dilakukan jika ada minimal dua alat bukti.
Pasal 95
Penyidik wajib menunjukkan surat tugas & surat perintah penangkapan.
Dalam keadaan tertangkap tangan, surat tersebut dikecualikan.
Pasal 96
Durasi penangkapan maksimal 1×24 jam.
Pasal 98
Penangkapan terhadap hakim harus dengan izin Ketua MA.
Isi Pasal Penahanan: Alasan yang Jauh Lebih Subjektif
Pasal 99–100 KUHAP baru mengatur penahanan dengan sejumlah parameter baru.
Pasal 100 mensyaratkan:
- Ancaman pidana 5 tahun atau lebih
- Minimal 2 alat bukti
Dan salah satu dari 8 alasan penahanan:
a. Mengabaikan panggilan
b. Memberikan informasi tidak sesuai fakta
c. Menghambat pemeriksaan
d. Melarikan diri
e. Merusak barang bukti
f. Mengulangi tindak pidana
g. Terancam keselamatan
h. Mempengaruhi saksi
Dua poin baru memberikan informasi tidak sesuai fakta dan menghambat pemeriksaan dinilai sangat subjektif karena bertentangan dengan hak ingkar tersangka.
Perbandingan KUHAP Lama vs KUHAP Baru
Dalam KUHAP 1981 (UU 8/1981), penahanan hanya dapat dilakukan bila ada kekhawatiran:
- Melarikan diri
- Merusak/menghilangkan barang bukti
- Mengulangi tindak pidana
Elemen kekhawatiran itu diatur ketat. KUHAP baru justru menambah elemen subjektif tanpa memperkuat kontrol pengadilan.
Wiwit sebagai aktifis pemerhati pemerintah melalui kajiannya bersama koalisi ormas menilai KUHAP terbaru tidak menghadirkan terobosan penting.
“Penangkapan dan penahanan tetap dilakukan oleh penyidik, bukan lembaga yudisial yang independen,” ujarnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa KUHAP baru:
- Tidak menerapkan judicial oversight
- Tidak memperkuat perlindungan fisik warga negara
- Memperluas ruang subjektif penyidik dalam menentukan penahanan
KUHAP Badu Membawa Kembali Ke Pra Reformasi
Ketua DPD Ormas FKI-1 Mojokerto, Wiwit Hariyono, menilai KUHAP baru bukan sekadar problem teknis, tetapi ancaman struktural bagi demokrasi hukum Indonesia.
“KUHAP ini menciptakan ketimpangan kekuasaan. Warga makin rentan ditangkap tanpa kontrol hakim. Reformasi peradilan itu harus memperkuat independensi yudisial, bukan menyerahkan nasib warga negara di tangan penyidik sepenuhnya,” paparnya.
Menurutnya, dua poin baru dalam Pasal 100 ayat (5) memberikan informasi tidak sesuai fakta dan menghambat pemeriksaan adalah celah kriminalisasi.
“Siapa yang menentukan informasi itu tidak sesuai fakta? Siapa yang menentukan seseorang menghambat penyidikan? Ini semua parameter subjektif, dan subjektivitas adalah pintu masuk penyalahgunaan kekuasaan,” beber Wiwit.
Wiwit menyebut KUHAP baru justru menempatkan Indonesia pada risiko ‘over-criminalization’, khususnya terhadap Aktivis, Jurnalis, Pelapor dugaan korupsi, dan Masyarakat sipil yang bersuara.
“Kalau negara ingin maju, KUHAP harus menjadi pagar kuat HAM, bukan instrumen kekuasaan untuk menakuti rakyat,” ujarnya.
Respons Ketua Komisi III DPR: KUHAP Baru Lebih Objektif
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, justru menilai KUHAP baru ini malahe lebih progresif, hanya mengizinkan penangkapan pada tahap penyidikan, dan memperjelas alasan penahanan.
Ia menilai delapan alasan penahanan di Pasal 100 ayat (5) bersifat objektif dan dapat diuji.
Namun kritik tetap mengalir, terutama karena pengawasan hakim tetap tidak diwajibkan pada tahap penangkapan, padahal itu yang dipersoalkan sejak lama.






