Minggu, 20 Jul 2025
light_mode
Home » News » MK Tolak Uji Materi Soal Redenominasi Rupiah dari Rp1.000 Menjadi Rp1

MK Tolak Uji Materi Soal Redenominasi Rupiah dari Rp1.000 Menjadi Rp1

Oleh Redaksi Moralita — Sabtu, 19 Juli 2025 12:58 WIB

Jakarta, Moralita.com – Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, khususnya terkait ketentuan mengenai redenominasi rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1.

Permohonan tersebut diajukan oleh seorang advokat, Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak, yang mempersoalkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c dalam undang-undang tersebut. Ia berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Dalam amar putusannya yang dikutip dari situs resmi MK pada Jumat (18/7), Mahkamah menyatakan:

“Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.”

Zico Leonardo mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c UU Mata Uang tidak secara eksplisit mengatur kebijakan redenominasi rupiah. Ia mengklaim bahwa ketidakjelasan regulasi ini menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi menghambat pelaksanaan redenominasi sebagai upaya reformasi sistem moneter nasional.

Baca Juga :  Sidang Sengketa di MK, Tuduhan Politisasi Bansos dan Manipulasi Sirekap di Pilkada Jawa Timur

Ia merujuk pada praktik di beberapa negara seperti Rumania dan Turki yang berhasil melakukan redenominasi tanpa menimbulkan gejolak ekonomi, selama dilakukan dalam situasi inflasi yang rendah dan stabil. Di Rumania, redenominasi terbukti menurunkan inflasi ke satu digit dan memperkuat nilai tukar Lei. Sementara Turki sukses menjaga stabilitas inflasi setelah menghapus enam angka nol dalam mata uangnya.

Zico juga mengutip teori makroekonomi Stanley Fischer yang menyebutkan bahwa penyederhanaan angka nominal dapat memperjelas transaksi keuangan, mengurangi beban administratif Bank Sentral, serta memungkinkan fokus yang lebih besar terhadap stabilitas sistem keuangan dan pengendalian inflasi.

Menurut Pemohon, tidak diaturnya secara tegas kebijakan redenominasi dalam UU tersebut melanggar prinsip keadilan ekonomi dan kesetaraan akses terhadap sistem keuangan yang efisien, sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Baca Juga :  Ketua Tim Pemenangan Khofifah-Emil Kabupaten Mojokerto, Suwandy Firdaus Apresiasi Putusan Dismissal MK

Menanggapi dalil tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa kebijakan redenominasi merupakan bagian dari domain kebijakan moneter yang bersifat teknokratis dan strategis. Kebijakan ini, menurut MK, berada sepenuhnya dalam kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak dapat dipaksakan melalui interpretasi terhadap norma yang bersifat umum.

Mahkamah menjelaskan bahwa penerapan redenominasi membutuhkan kajian mendalam dari berbagai aspek, termasuk stabilitas makroekonomi, kesiapan sistem pembayaran nasional, kesiapan sektor perbankan, dan tingkat literasi keuangan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan semacam ini tidak bisa diputuskan secara sepihak atau melalui penafsiran terbatas atas ketentuan normatif.

Lebih lanjut, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c UU 7/2011, yang mengatur kewajiban pencantuman nominal dalam angka dan huruf pada mata uang rupiah, tidak dapat dianggap sebagai hambatan terhadap pelaksanaan redenominasi.

Baca Juga :  MK Tetapkan Hanya Individu yang Berhak Laporkan Pencemaran Nama Baik, Dasco: Masyarakat Tetap Harus Jaga Etika

Redenominasi, menurut Mahkamah, secara hukum berada dalam cakupan norma Pasal 3 ayat (5) UU 7/2011 yang menyatakan bahwa:

“Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang.”

Dengan demikian, setiap perubahan nilai nominal rupiah, termasuk dalam bentuk redenominasi, harus diatur secara eksplisit melalui perundang-undangan yang baru dan tidak dapat dipaksakan melalui judicial review terhadap ketentuan yang tidak mengatur hal tersebut secara langsung.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menilai bahwa ketentuan yang diuji tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan hak konstitusional warga negara, terutama terkait kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

“Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan Mahkamah Konstitusi.

  • Author: Redaksi Moralita

Komentar (0)

At the moment there is no comment

Please write your comment

Your email will not be published. Fields marked with an asterisk (*) are required

expand_less