Pengamat UGM: Kerugian Lingkungan Tambang Nikel di Raja Ampat Lebihi Kasus PT Timah
Oleh Redaksi Moralita — Kamis, 12 Juni 2025 07:54 WIB; ?>

Keindahan alam Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat yang terancam akibat aktivitas pertambangan nikel.
Yogyakarta, Moralita.com – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyoroti dampak ekologis serius akibat aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menilai, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan di kawasan konservasi global itu bahkan diperkirakan melebihi kerugian negara dalam kasus tata niaga timah yang melibatkan PT Timah Tbk.
“Kerusakan ekosistem di Raja Ampat tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh negara dari kegiatan pertambangan tersebut. Flora, fauna, dan spesies langka yang punah akibat tambang tidak dapat direklamasi atau dikembalikan. Nilai kerugiannya sangat besar dan tak ternilai,” ujar Fahmy dalam pernyataan resmi, Rabu (11/6).
Fahmy membandingkan kasus tersebut dengan kerugian negara dalam perkara tambang ilegal PT Timah Tbk pada 2015–2022, yang berdasarkan perhitungan ahli lingkungan mencapai Rp271 triliun. “Jika kita menggunakan pendekatan serupa, maka kerusakan alam di Raja Ampat bisa saja menimbulkan kerugian di atas Rp300 triliun, mengingat status ekologis kawasan itu sebagai pusat biodiversitas laut dunia,” tambahnya.
Fahmy mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan tambang di wilayah Raja Ampat. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan. Ia mendorong pemerintah untuk mencabut pula izin PT GAG Nikel (GN), perusahaan yang masih diizinkan beroperasi di Pulau Gag.
Menurut Fahmy, argumen bahwa jarak lokasi tambang PT GN yang mencapai 40 kilometer dari pusat konservasi utama Raja Ampat tidak cukup kuat untuk membenarkan kelanjutan aktivitas pertambangan. Ia menegaskan bahwa limbah tambang, termasuk debu yang mengandung arsenik, dapat terbawa angin hingga ratusan kilometer dan mengancam ekosistem maupun kesehatan masyarakat.
“Jadi, alasan geografis bukan pembenaran. Apalagi jika perusahaan tersebut terbukti melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Fahmy juga menyoroti bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Gag melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau yang memiliki luas kurang dari 2.000 kilometer persegi, tanpa pengecualian.
“Larangan itu telah diperkuat oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Maka, kegiatan PT GN secara hukum jelas bertentangan dengan regulasi,” paparnya.
Ia mendesak aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan, untuk mengusut tuntas proses perizinan yang memungkinkan lima perusahaan tambang beroperasi di kawasan yang semestinya dilindungi tersebut. Fahmy menilai ada indikasi kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pemberian izin.
“Jangan-jangan, seperti lazimnya di banyak kasus di Indonesia, terdapat kongkalikong yang meloloskan izin tambang. Jika terbukti, pelaku harus diproses hukum sesuai ketentuan pidana yang berlaku,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, terdapat lima perusahaan tambang yang sebelumnya mengantongi IUP di Raja Ampat. Dua di antaranya, PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), mendapat izin dari pemerintah pusat. Sementara tiga lainnya—PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham—mengantongi izin dari Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat.
Presiden Prabowo Subianto telah mencabut IUP empat perusahaan, kecuali PT GAG Nikel, pada Mei 2025. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri kini tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana terkait penerbitan izin usaha tambang di kawasan Raja Ampat.
Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, membenarkan bahwa pihaknya telah membuka penyelidikan terhadap empat perusahaan yang IUP-nya telah dicabut oleh pemerintah.
- Author: Redaksi Moralita
At the moment there is no comment