Polemik Anggota DPRD Kediri Gunakan Ijazah Palsu, Konfirmasi KPU Diluar Substansi
Kediri, Moralita.com – Kisah politik lokal di Kediri diguncang isu serius. Polemik bermula dari dugaan ijazah palsu digunakan oleh salah satu Anggota DPRD Kabupaten Kediri inisial A dari fraksi PDI-P yang muncul Juli 2025 kemarin.
Baca: Ijazah Salah Satu Anggota DPRD Kabupaten Kediri Disinyalir Palsu, Begini Hasil Investigasinya
Surat resmi akhirnya dilayangkan oleh Wiwit Hariyono, Ketua DPD Ormas Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), kepada KPU Kabupaten Kediri. Dalam surat itu, Wiwit meminta konfirmasi tertulis apakah benar dokumen ijazah yang dilampirkan saudara A yang saat itu sebagai calon legislatif DPRD Kabupaten Kediri dari PDI Perjuangan Dapil 1 digunakan dalam proses pencalonan pada Pemilu 2024.
Permintaan ini tidak asal-asalan. Wiwit menegaskan, keterbukaan informasi publik soal dokumen pendidikan calon legislatif adalah bagian dari integritas demokrasi.

“Kami bersurat ke KPU Kabupaten Kediri, menanyakan secara resmi apakah saudara A yang saat ini duduk sebagai Anggota DPRD Kabupaten Kediri saat pencalonan memakai ijazah ini,” ungkap Wiwit, Rabu (24/9).
Balasan KPU Kabupaten Kediri, Administrasi Teknis yang Terasa Textbook
KPU Kabupaten Kediri akhirnya membalas surat FKI-1 tanggal 18 September 2025 dan diambil Wiwit pada 23 September 2025. Surat bernomor 148/HM.03.2-SD/3506/2025 itu ditandatangani Ketua KPU Kabupaten Kediri, Nanang Qosim.
Isi jawabannya terkesan “textbook”. KPU menyatakan bahwa dokumen ijazah ‘A’ telah sesuai ketentuan berdasarkan Keputusan KPU Nomor 403 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Verifikasi Administrasi. Indikator yang dipakai KPU Kabupaten Kediri pun sifatnya teknis:
1. Dokumen bisa dibuka dan dibaca.
2. Hasil pindai fotokopi ijazah/surat keterangan pengganti.
3. Memuat nama bakal calon.
4. Dilegalisasi pejabat berwenang.
5. Menerangkan kelulusan.
6. Menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut Wiwit substansi pertanyaan yang ia cantumkan dalam surat permintaanya kepada KPU Kabupaten Kediri belum tersentuh sama sekali.
Wiwit menilai jawaban KPU Kabupaten Kediri justru menghindar dari substansi. Menurutnya, publik tidak hanya butuh kepastian apakah dokumen “bisa dibuka” atau “dilegalisasi”. Yang lebih penting adalah apakah ijazah yang digunakan ‘A’ dalam pencalonannya itu sesuai dengan apa yang ia lampirkan dalam surat.
“Kami minta kejelasan apakah benar ijazah itu dipakai ‘A’ untuk pencalonan. KPU menjawab sebatas formalitas teknis. Itu jawaban normatif yang tidak menyentuh inti persoalan,” tegas Wiwit.
Ia bahkan mengingatkan, jawaban yang terkesan “defensif” justru bisa menimbulkan dugaan masyarakat bahwa KPU Kabupaten Kediri turut melindungi ‘A’.
Ia menyebut apabila Komisoner KPU Kabupaten Kediri dengan sadar menutup-nutupi dokumen, bisa ditafsirkan sebagai “turut serta” (medepleger) dalam tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 55 KUHP.
Karakteristik Turut Serta Melakukan (Medepleger)
Kerja Sama Sadar: Ada kerja sama yang sadar di antara pelaku dalam melakukan kejahatan.
Bertanggung Jawab: Orang yang turut serta melakukan (medepleger) dipandang sama bertanggung jawabnya atas kejahatan tersebut dengan pelaku utama.
Tujuan Bersama: Ada tujuan bersama di antara para pelaku untuk melakukan tindak pidana tersebut.
Artinya, jika ada bukti Komisoner KPU Kabupaten Kediri yang bertugas saat Pileg 2024 maupun sekarang yang mengetahui ada dugaan dokumen bermasalah dan kini masih tetap melindungi dengan cara menutup informasi, maka ia bisa masuk kategori obstruction of justice alias menghalangi proses hukum.
“Secara hukum, memang benar KPU Kabupaten Kediri hanya melakukan verifikasi administratif. Mereka tidak berwenang menguji materiil keaslian ijazah, itu domain lembaga pendidikan dan aparat penegak hukum,” lontarnya.
Namun, problemnya jika ada dugaan ijazah palsu, dan KPU hanya mengandalkan formalitas teknis, maka mereka terjebak dalam legalisme semu.
“Hati-hati pasal 55 KUHP menanti Komisioner KPU Kabupaten Kediri jika sengaja menutup dan melindungi tindak kejahatan ini,” tegas Wiwit.
Secara sosial, kasus ini adalah bom waktu. Rakyat yang melihat jawaban KPU Kabupaten Kediri sebatas prosedural teknis akan merasa semakin apatis, kepercayaan integritas lembaga penyelenggara pemilu terancam tergerus.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya pada proses demokrasi jika dokumen dasar seorang calon legislatif saja terkesan tidak diverifikasi secara substansial,” cetusnya.
Isu ini berpotensi menambah daftar panjang sinisme masyarakat dari kasus dugaan ijazah palsu di pusat yang jadi pembahasan menurun ke Kabupaten Kediri.
Konteks Baru KPU RI Cabut Keputusan 731/2025
Ironisnya, polemik ini muncul di tengah kebijakan baru KPU pusat. Belum lama ini, Ketua KPU RI resmi mencabut Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang dokumen yang dikecualikan dari keterbukaan informasi publik.
Pencabutan ini berarti rakyat kini punya akses lebih luas untuk mengetahui dokumen dan rekam jejak pemimpin maupun wakilnya. Dengan demikian, ijazah, rekam jejak pendidikan, hingga catatan administratif calon legislatif bukan lagi domain tertutup. Masyarakat berhak mengakses dan memverifikasi sendiri.
Fakta ini memperkuat argumen Wiwit, tidak ada lagi alasan bagi KPU Kabupaten Kediri untuk menutupi informasi ini dengan jawaban teknis normatif. Transparansi adalah mandat hukum sekaligus tuntutan masyarakat.
Polemik ijazah ‘A’ menunjukkan satu hal, demokrasi lokal masih sering terjebak di level administratif, bukan substantif. KPU Kabupaten Kediri memang sudah menjawab sesuai regulasi, tapi publik menagih lebih kejujuran, transparansi, dan integritas.
Dengan dicabutnya Keputusan KPU 731/2025, rakyat punya legitimasi lebih kuat untuk menuntut keterbukaan. Jika lembaga penyelenggara pemilu hanya bersembunyi di balik regulasi teknis, maka mereka bukan hanya mengkhianati mandat UU, tapi juga menodai kepercayaan rakyat.
Seperti kata Wiwit, publik tidak butuh jawaban normatif yang kering. Yang dibutuhkan adalah kepastian. Apakah ijazah wakil rakyat itu sah atau tidak? Sebab, serapat-rapatnya bangkai itu ditutup dan disembunyikan pasti akan tercium juga.






