Polemik DAM Wonokerto Bupati Mojokerto Pastikan Proyek Dilanjut, Tampik Isu Bancakan Politik
Mojokerto, Moralita.com – Pasca agenda mutasi jabatan gelombang ke-II di lingkungan Pemkab Mojokerto, Bupati Mojokerto Muhammad Albarra tidak hanya berbicara soal rotasi birokrasi. Kepada awak media, ia juga menyinggung isu polemik pembangunan DAM Wonokerto yang belakangan menjadi perbincangan hangat di ruang publik dan bahkan diseret ke ranah politik.
Menurut Gus Bupati, keberadaan DAM Wonokerto Desa Wonodadi Kecamatan Kutorejo tersebut merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat sekitar. Ia menyebut ada sekitar 90 hektare lahan sawah yang harus dialiri air dari dam tersebut.
“Di sana tidak ada bor atau mata air. Petani hanya mengandalkan tadah hujan. Jadi keberadaan DAM itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tidak ada itu bancakan-bancakan,” jelas Gus Barra, Rabu (1/10).
Proyek DAM Wonokerto sempat mendapat sorotan setelah muncul rekomendasi dari Pimpinan DPRD Mojokerto agar proyek itu dihentikan. Namun, Gus Bupati menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak serta-merta mengambil sikap gegabah. Ia mengaku pihaknya akan tetap mengkaji rekomendasi DPRD, sembari menimbang masukan langsung dari masyarakat.
“Kemarin kami menerima masukan dari masyarakat, bahwa proyek itu jangan dihentikan. Karena itu menjadi harapan petani sekitar, harapan masyarakat, dan menjadi satu-satunya yang dibutuhkan oleh petani untuk keberlangsungan hidupnya,” ujar Gus Bupati.
Ia menambahkan, komunikasi dengan DPRD akan tetap dilakukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Kita pasti akan berkomunikasi baik dengan dewan maupun masyarakat. Jangan sampai harapan masyarakat dirugikan. Karena tanpa DAM itu, mereka tidak bisa bekerja, tidak bisa menghidupi keluarganya. Kehidupan mereka sehari-hari bergantung dari pertanian,” imbuh Gus Bupati.
Di tengah tarik-menarik ini, muncul pula isu liar bahwa proyek DAM Wonokerto menjadi ‘bancakan politik’ berkedok pembangunan infrastruktur. Narasi yang berkembang di publik menyebut bahwa proses tender hanyalah formalitas belaka, sementara pemenang proyek sudah diatur berdasarkan kedekatan dengan tokoh politik.
Bupati Mojokerto menampik tegas tuduhan tersebut. Ia menyatakan semua proses pengadaan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Semuanya sudah saya klarifikasi. Saya sudah tanya ke PBJ (Bagian Pengadaan Barang dan Jasa). Semuanya ditender sesuai ketentuan. Adapun pemenangnya, itu karena memenuhi standar yang dibutuhkan,” tegasnya.
Ketua Ormas FKI-1, Wiwit Hariyono, menilai isu proyek DAM Wonokerto harus dipisahkan antara persepsi politik dan fakta hukum. Menurutnya, setiap proyek pembangunan daerah memang rawan dipelintir menjadi isu politik, apalagi menjelang tahun politik lokal.
Menurutnya dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta Perpres Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, proses tender harus transparan, akuntabel, dan kompetitif.
“Jika benar semua proses dilakukan PBJ sesuai regulasi, maka tuduhan bancakan memang tidak memiliki dasar hukum. Namun, jika ada indikasi korupsi pada penggunaan material organik itu bisa diperiksa oleh APIP maupun APH,” jelas Wiwit.
Ia menambahkan, kunci kepercayaan publik bukan hanya soal klaim pemerintah, tetapi juga akses keterbukaan informasi publik dalam mekanisme lelang dan audit pembangunan proyek.
“Kalau Pemkab Mojokerto membuka proses dokumen tender secara publik misalnya melalui LPSE maka masyarakat bisa menilai sendiri transparansinya,” jelasnya.
Dengan kata lain, legitimasi proyek bukan hanya soal ‘jalan atau tidak jalan’ tapi juga bagaimana proses pengadaan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan etika.
Isu DAM Wonokerto ini sebetulnya merefleksikan dinamika klasik pembangunan daerah: pemerintah dihadapkan pada dua kutub kepentingan aspirasi masyarakat yang menuntut solusi praktis, dan fungsi pengawasan DPRD yang sering berbenturan dengan Pemerintah.
Bagi petani, keberadaan dam adalah soal hidup-mati. Tanpa irigasi yang memadai, 90 hektare sawah hanya akan menjadi ladang kering yang merintih menunggu hujan. Namun, bagi sebagian elit politik, proyek ini bisa dibaca sebagai ‘ladang basah’ yang rentan dipelintir narasinya.
Dalam kesempatan yang sama, Gus Bupati juga ditanya soal kelanjutan kasus Camat Sooko yang belakangan terseret isu lain di lingkungan birokrasi. Ia menegaskan bahwa persoalan tersebut sudah ditangani oleh perangkat resmi sesuai mekanisme pemerintahan.
“Itu sudah saya delegasikan ke Inspektorat, BKPSDM, dan Sekda yang menangani,” singkat Gus Barra.
Jika ditarik ke ranah akademis, pembangunan DAM Wonokerto bisa dipandang sebagai kasus menarik tentang bagaimana infrastruktur berkelindan dengan politik lokal.
Di satu sisi, ia adalah proyek teknis untuk irigasi pertanian. Namun, di sisi lain, ia bisa menjadi pe unjang elektabilitas politik, siapa yang berhasil merealisasikannya akan dipandang ‘pro-petani‘ dan siapa yang menentangnya bisa dituduh ‘anti-petani‘.
Narasi ini menunjukkan bagaimana infrastruktur desa tidak pernah benar-benar steril dari tarik-menarik politik. Bahkan, sebuah DAM sederhana bisa menjadi arena gladiator antara aspirasi, kepentingan, dan legitimasi.
Pada akhirnya, isu DAM Wonokerto bukan sekadar soal air yang mengalir di saluran irigasi. Lebih dari itu, ia adalah metafora tentang bagaimana pemerintahan daerah diuji apakah benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau sekadar menjadikan proyek sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Bupati Mojokerto, dalam keterangannya, ingin memastikan bahwa proyek ini tetap berjalan sesuai prosedur, ia juga menampik bancakan politik. Namun, janji itu kini tengah diuji oleh dua hal seberapa cepat air bisa mengalir ke sawah petani, dan seberapa kuat pemerintah menahan derasnya arus tuduhan bancakan politik oleh beberapa oknum.
Karena bagi petani, air dari DAM Wonokerto adalah soal hidup. Sementara bagi politisi, isu dam bisa jadi soal hidup-mati karier politiknya.






