Soal Pencabutan ID Pers Peliputan Istana Jurnalis CNN Indonesia, Mensesneg: Cari Jalan Tengah
Oleh Tim Redaksi Moralita — Minggu, 28 September 2025 21:28 WIB; ?>

Mensesneg, Prasetyo Hadi.
Jakarta, Moralita.com – Persoalan pencabutan ID Peliputan Istana milik jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia yang muncul usai beredarnya pesan pamitnya di grup WhatsApp wartawan Istana.
Pesannya sederhana, namun mengandung bobot politik yang lumayan berat, ia mengaku tak lagi menjadi wartawan istana karena kartu identitas peliputannya diambil Biro Pers Istana.
Alasan yang beredar, Diana dianggap menanyakan hal di luar konteks acara ketika Presiden Prabowo Subianto baru saja mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma, Sabtu (27/9).
Pertanyaan Diana lumrah seorang jurnalis tentang kondisi kekinian, bahkan klise dalam logika jurnalistik. Ia menyinggung isu yang sedang jadi sorotan publik maraknya kasus keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sebuah program flagship Presiden Prabowo yang sejak awal digadang-gadang sebagai game changer dalam agenda politik populis.
Apesnya, pertanyaan ini justru diduga bikin ID peliputannya melayang.
Menanggapi riuh kabar itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi buka suara. Di kediaman pribadi Presiden Prabowo di Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Minggu (28/9).
“Ya, kita cari jalan keluar terbaiklah,” ujar Prasetyo dengan nada yang terdengar seperti ingin meredakan ketegangan.
Menurutnya, pihaknya telah berkoordinasi dengan Biro Pers Istana untuk mencari solusi dari persoalan ini. Ia menegaskan, komunikasi akan dibangun agar tidak ada kesalahpahaman berkepanjangan.
“Besok kami sudah menyampaikan kepada Biro Pers untuk coba dikomunikasikan agar ada jalan keluar terbaik. Kita bangun komunikasi bersama lah,” imbuhnya.
Namun, Prasetyo menegaskan tidak ada atensi khusus dari Presiden Prabowo dalam kasus ini. “Tidak, cukup saya saja. Cukup,” tegasnya, seakan ingin memastikan publik bahwa ini bukan arahan langsung dari kepala negara.
Kisah ini meledak ke ruang publik lewat jalur paling cepat: media sosial. Screenshoot pesan pamit Diana di grup WhatsApp wartawan Istana viral dalam hitungan jam.
“Selamat malam, kakak-kakak. Per malam ini saya bukan wartawan Istana lagi karena ID Card saya sudah diambil oleh Biro Pers karena saya dinilai bertanya di luar konteks acara,” tulis Diana dalam pesan yang kemudian tersebar luas.
Ia menutup pesannya dengan elegan, meski getir: “Oleh karena itu, saya izin leave group ini. Terima kasih banyak, sampai bertemu di liputan lain,” tulisnya.
Pesan singkat itu seperti menyalakan api di rumput kering. Netizen, akademisi, hingga organisasi profesi wartawan langsung bereaksi. Diskusi tentang kebebasan pers kembali jadi trending topic, lengkap dengan segala tafsir politiknya.
Kasus ini bukan sekadar soal ID peliputan. Ini soal tarik-menarik antara kebebasan pers dengan sensitivitas politik pemerintah terhadap kritik, terutama terkait program populis MBG yang kini dililit isu keracunan massal di sejumlah daerah.
Dari perspektif akademis, kasus ini bisa dibaca sebagai uji litmus atas relasi state versus media di era Prabowo. Di satu sisi, pemerintah punya agenda menjaga wibawa dan citra kebijakan andalannya. Di sisi lain, media punya fungsi kontrol yang inheren: bertanya, bahkan bila pertanyaan itu ‘out of context’ menurut protokoler.
Di titik inilah pertanyaan Diana jadi simbol. Ia mewakili publik yang ingin tahu, berani menyinggung isu rawan meski berisiko dianggap tidak sopan.
Mensesneg memang sudah bicara soal ‘jalan keluar terbaik’, Namun pertanyaan lanjutannya adalah apa bentuk jalan keluar itu? Apakah cukup dengan mengembalikan ID peliputan Diana? Ataukah perlu ada perubahan struktural dalam tata kelola komunikasi Istana agar insiden serupa tak berulang?
Jika solusi yang dipilih hanya bersifat kosmetik, kasus ini bisa jadi preseden buruk. Media akan merasa terintimidasi, sementara pemerintah bisa terlihat semakin alergi terhadap pertanyaan kritis.
Sebaliknya, jika kasus ini dijadikan momentum untuk mempertegas komitmen pada kebebasan pers, maka Indonesia bisa mencatatkan poin penting dalam perjalanan demokrasinya.
Kasus Diana Valencia sejatinya adalah reminder bahwa kebebasan pers tidak selalu nyaman bagi kekuasaan. Justru di situlah letak nilainya. Pertanyaan ‘nyeleneh’ wartawan seringkali adalah suara publik yang tidak bisa masuk ke ruang-ruang steril birokrasi.
Apakah pemerintah berani membuka ruang lebih lapang untuk suara-suara kritis ini? Atau memilih menutup rapat-rapat dengan alasan ‘di luar konteks?’
Artikel terkait:
- Nasib MBG Desakan Disetop Setelah Banyak Kasus Keracunan, Kepala BGN Menunggu Arahan Presiden
- Pakar Hukum UGM Sebut Keracunan MBG Bisa Seret SPPG ke Pasal 360 KUHP
- Dua Anggota Brimob dan Security PT GRS Diperiksa Terkait Kekerasan terhadap Wartawan di Serang
- Kenaikan PBB-P2 Picu Gelombang Protes di Berbagai Daerah, Pemerintah Pusat Bantah Pemangkasan Dana Transfer sebagai Pemicu
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar