Sopir Truk Mogok Nasional: Penolakan Sporadis Aturan Zero ODOL Jelang 2026
Oleh Redaksi Moralita — Selasa, 24 Juni 2025 06:11 WIB; ?>

Aksi demonstrasi para sopir truk.
Jakarta, Moralita.com – Penolakan terhadap kebijakan Zero Over Dimension and Over Loading (Zero ODOL) semakin meluas. Secara sporadis, ribuan sopir truk di berbagai wilayah kabupaten/kota menggelar aksi unjuk rasa dan mogok kerja pada Kamis, 19 Juni 2025. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kebijakan Kementerian Perhubungan yang akan mengimplementasikan aturan Zero ODOL secara penuh mulai tahun 2026.
Gelombang aksi terjadi di berbagai daerah seperti Surabaya, Kudus, Boyolali, Klaten, Solo, Yogyakarta, Bandung, Subang, dan Temanggung. Massa pengemudi yang tergabung dalam berbagai aliansi lokal turun ke jalan, memarkir kendaraan di jalur-jalur vital, hingga melakukan blokade jalan nasional.
Salah satu demonstrasi terbesar berlangsung di Terminal Induk Jati, Kudus, Jawa Tengah, yang diorganisir oleh Gerakan Sopir Truk Jawa Tengah. Sekitar 800 sopir berkumpul, memasang spanduk dan poster penolakan kebijakan ODOL pada kendaraan mereka. Salah satu spanduk berbunyi:
“Tolong Revisi UU ODOL. Welcome to Indonesia: sopir truk ODOL dipenjara. Sopir bukan kriminal. Ini bukan menentang ODOL, ini tentang keluarga di rumah.”
Truk berbagai ukuran diparkir di sepanjang Jalan Lingkar Selatan dan di dalam terminal, menyebabkan gangguan arus lalu lintas.
Di Temanggung, Paguyuban Angkutan Umum Truk juga menggelar aksi sweeping terhadap bus malam yang membawa cabai. Mereka memaksa penurunan barang di tengah jalan dan memarkir truk di jalan nasional, mengakibatkan kemacetan panjang dari Kamis sore hingga Jumat dini hari.
Sementara di Subang, Jawa Barat, ratusan sopir memblokade jalan utama penghubung Subang–Bandung. Aksi di titik strategis simpang Museum Subang itu berlangsung lebih dari empat jam, melumpuhkan aktivitas logistik dan mobilitas warga.
Para sopir menilai kebijakan Zero ODOL memberatkan mereka yang menggantungkan hidup dari logistik barang, khususnya sopir dari perusahaan kecil yang tidak berbadan hukum. Mereka menyuarakan bahwa aturan tersebut diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi di lapangan.
Kementerian Perhubungan menegaskan bahwa kebijakan Zero ODOL dirancang untuk melindungi kepentingan nasional. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menekankan bahwa truk dengan muatan berlebih telah terbukti mempercepat kerusakan infrastruktur dan meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas.
“Keselamatan pengguna jalan adalah prioritas utama kami. Truk ODOL bukan hanya merusak jalan dan jembatan, tetapi juga menjadi penyebab kecelakaan fatal di jalan raya,” tegas Dudy.
Data dari Korlantas Polri menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terjadi 27.337 kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang, atau sekitar 10,4% dari total 262.328 kecelakaan. Dari jumlah tersebut, tercatat 26.839 korban meninggal dunia. Sementara menurut Jasa Raharja, truk ODOL menjadi penyebab kedua tertinggi kecelakaan di Indonesia, dengan 6.390 korban jiwa yang menerima santunan.
Hasil pemeriksaan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) selama Januari–April 2025 menemukan pelanggaran daya angkut pada 129.887 dari 752.000 kendaraan yang diperiksa.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO), Agus Pratiknyo, menilai protes sopir truk mencerminkan keresahan struktural akibat minimnya transisi dan perlindungan hukum. Ia membantah bahwa aksi ini merupakan bentuk mobilisasi terorganisir.
“Kebanyakan sopir truk yang turun ke jalan adalah sopir dari perusahaan kecil yang tidak berbadan hukum, yang hidupnya sangat tergantung dari truk ODOL,” ujar Agus.
Agus menyoroti bahwa pemerintah belum memberikan solusi transisi yang adil bagi pelaku usaha kecil. Penegakan hukum masif tanpa penyelarasan teknologi dan regulasi dinilai kontra-produktif.
“Pengawasan masih dilakukan dengan cara manual. Padahal saat ini teknologi seperti GPS tracking, integrasi sistem KIR, dan data manifes digital bisa digunakan untuk menegakkan kebijakan secara objektif dan transparan,” lanjutnya.
Ia juga mengkritik peran dominan Korlantas Polri dalam penindakan ODOL, yang menurutnya seharusnya menjadi domain teknis dari Kementerian Perhubungan.
Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap ODOL harus dimulai dari hulu, yaitu regulasi dan pemberdayaan pelaku utama.
“Banyak pengusaha pemilik barang maupun kendaraan justru tak tersentuh hukum. Sopir jadi korban karena tekanan ekonomi dan sistem kerja yang tidak adil,” kata Djoko.
Ia juga menyoroti rendahnya rata-rata upah sopir truk di Indonesia, yakni sekitar Rp1,4 juta per bulan, jauh di bawah Thailand yang bisa mencapai Rp25 juta per bulan. Tekanan penghasilan inilah yang kerap mendorong sopir untuk membawa muatan berlebih.
Dampak aksi mogok sopir mulai dirasakan pada distribusi pangan. Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Indra Wijayanto, menyampaikan bahwa demonstrasi sopir menyebabkan keterlambatan pasokan kebutuhan pokok ke ibu kota.
“Kami menerima laporan dari asosiasi telur dan cabai mengenai keterlambatan distribusi akibat demo sopir truk. Ini sudah berdampak pada stabilitas harga pangan,” ujarnya dalam Rapat Inflasi Daerah bersama Kemendagri, Senin (23/6).
Pemerintah daerah diminta untuk segera mencari solusi kolaboratif agar kelancaran distribusi pangan tetap terjaga di tengah dinamika kebijakan transportasi.
Menteri Dudy menegaskan bahwa pemerintah membuka ruang dialog untuk menyerap aspirasi sopir.
“Kami terbuka mendengarkan langsung keluhan para pengemudi, karena mereka adalah garda terdepan sistem logistik nasional. Namun, keselamatan dan ketertiban tetap menjadi tujuan utama,” tandasnya.
Pemerintah tengah menyiapkan forum dialog antara regulator, operator logistik, dan perwakilan sopir guna merumuskan skema transisi ODOL yang adil dan tidak memberatkan pihak paling rentan.
- Penulis: Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar