Minggu, 21 Sep 2025
light_mode
Beranda » News » TNI Masuki Industri Farmasi, Tuai Respons Pro-Kontra dari Akademisi dan Praktisi Kesehatan

TNI Masuki Industri Farmasi, Tuai Respons Pro-Kontra dari Akademisi dan Praktisi Kesehatan

Oleh Tim Redaksi Moralita — Senin, 28 Juli 2025 15:53 WIB

Jakarta, Moralita.com – Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang selama ini identik dengan sektor pertahanan, kini dikabarkan akan merambah industri farmasi melalui produksi obat-obatan. Langkah ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, pada Selasa (22/7).

Kerja sama tersebut akan memanfaatkan laboratorium milik Angkatan Darat, Laut, dan Udara untuk memproduksi obat-obatan yang sebelumnya hanya digunakan secara internal oleh prajurit, kini diperluas untuk keperluan masyarakat umum. Distribusi obat akan dilakukan melalui jaringan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP), yang baru diluncurkan Presiden Prabowo Subianto pada 21 Juli 2025. Harga produk diklaim 50 persen lebih murah dari harga pasar.

“Kami tengah mengkaji skema untuk menurunkan harga lebih lanjut sehingga masyarakat dapat mengakses obat secara gratis,” ujar Sjafrie dalam konferensi pers, Rabu (23/7).

Kepala BPOM Taruna Ikrar menjelaskan, keterlibatan militer di sektor farmasi ini diharapkan dapat membantu memberantas peredaran obat ilegal dan mengatasi dominasi kelompok tertentu di industri medis nasional.

Namun, rencana ini menuai beragam respons. Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada, Prof. Zullies Ikawati, menekankan bahwa produksi obat melibatkan biaya besar dan kompleksitas teknis tinggi, terutama karena mayoritas bahan baku masih diimpor.

Baca Juga :  Kodam III/Siliwangi Konfirmasi Ledakan Amunisi di Garut, 11 Orang Tewas Termasuk Dua Prajurit TNI

“Memproduksi obat murah tentu ideal, tapi tetap harus memperhitungkan aspek ekonomi. Kecuali jika disubsidi negara,” ujarnya.

Zullies juga menyoroti aspek regulasi distribusi obat. Menurutnya, penjualan obat tak bisa disamakan dengan produk konsumsi biasa. Ia mengingatkan pentingnya pengawasan dan keterlibatan tenaga teknis kefarmasian untuk memastikan dosis dan kualitas tetap terjaga.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menyatakan bahwa pelibatan TNI dalam industri farmasi tidak bertujuan menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Namun, ia memahami kekhawatiran publik terkait tumpang tindih fungsi sipil dan militer.

Pengamat kebijakan kesehatan dari Griffith University, dr. Dicky Budiman, menilai bahwa peran TNI sebaiknya hanya sebagai pendukung logistik dan keamanan, bukan sebagai pelaku utama industri farmasi. Menurutnya, keterlibatan langsung militer berisiko menimbulkan konflik kepentingan serta memperkuat militerisasi sektor sipil.

“Produksi obat sebaiknya tetap dilakukan oleh profesional farmasi. Peran TNI bisa difokuskan pada distribusi dan pengamanan, bukan sebagai produsen,” ujarnya.

Baca Juga :  BUMN Lakukan Pergantian Direksi Perum Bulog, Prihasto Setyanto Ditunjuk sebagai Plt Direktur Utama

Hal senada disampaikan dr. Iqbal Mochtar dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia menilai bahwa isu mafia obat lebih berkaitan dengan monopoli distribusi dan perizinan, bukan sekadar produksi. Oleh karena itu, penyelesaiannya harus dilakukan melalui penguatan peran pengawas seperti BPOM dan Kementerian Kesehatan.

“Narasi pelibatan TNI untuk melawan mafia obat kurang tepat. Ini bukan soal perang kartel, tapi soal pengawasan dan kebijakan pemerintah,” tegasnya.

Iqbal menambahkan, tingginya harga obat di Indonesia lebih disebabkan oleh sistem perpajakan dan beban impor, bukan karena produksi dalam negeri semata. Ia menyarankan agar pemerintah memeriksa struktur harga dan memberi insentif untuk produksi lokal.

Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Apt. Satibi, M.Si, menggarisbawahi bahwa harga obat mahal di Indonesia disebabkan oleh lemahnya struktur industri farmasi nasional. Ketergantungan terhadap bahan baku impor dan minimnya investasi dalam riset menjadi kendala utama.

“Melibatkan militer bukan solusi jangka panjang. Yang dibutuhkan adalah strategi pembangunan industri farmasi yang menyeluruh, mulai dari bahan baku hingga hilirisasi,” tegasnya.

Menurut Satibi, pemerintah perlu menetapkan prioritas produksi bahan baku strategis seperti parasetamol, ARV, dan insulin. Selain itu, penguatan riset, pembentukan konsorsium hilirisasi nasional, dan skema pendanaan inovasi farmasi juga menjadi kunci.

Baca Juga :  BPOM Tetapkan Masyarakat sebagai Pilar Resmi Pengawasan Obat dan Makanan Melalui Peraturan Baru

Ia juga menyoroti pentingnya peninjauan ulang terhadap sistem e-katalog yang kerap menekan harga tanpa mempertimbangkan biaya produksi dalam negeri. Produk lokal harus mendapat insentif dan ruang pasar yang lebih adil dibanding produk impor.

Dengan beragam pandangan dari berbagai pihak, jelas bahwa keterlibatan TNI dalam industri farmasi masih memerlukan kajian mendalam dan regulasi ketat. Keputusan ini menyentuh batas-batas antara pertahanan, ekonomi, dan kesehatan publik, sehingga harus dilandasi oleh kehati-hatian dan transparansi agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi sistem kesehatan nasional.

  • Penulis: Tim Redaksi Moralita

Tulis Komentar Anda (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

expand_less