Polemik RKUHAP: KPK Soroti Pembatasan Penyadapan, Masyarakat Sipil dan Pakar Serukan Revisi
Oleh Tim Redaksi Moralita — Rabu, 16 Juli 2025 11:50 WIB; ?>

Logo di gedung KPK
Jakarta, Moralita.com – Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan Pemerintah mendapat sorotan tajam, tidak hanya dari kalangan masyarakat sipil, tetapi juga dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu isu krusial adalah mengenai pembatasan wewenang penyadapan oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan kekhawatiran lembaganya terhadap ketentuan penyadapan dalam RKUHAP yang dinilai tidak selaras dengan Undang-Undang KPK. Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Senin (14/7), Budi menyatakan bahwa pengaturan penyadapan dalam Pasal 124–129 RKUHAP berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi.
“Penyadapan oleh KPK selama ini dilakukan sejak tahap penyelidikan, tanpa harus mengantongi izin pengadilan negeri, tetapi tetap dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK. Ini selaras dengan Pasal 12 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019,” jelasnya.
Menurut Budi, pembatasan penyadapan hanya pada tahap penyidikan sebagaimana tertuang dalam RKUHAP akan menghambat KPK mendapatkan informasi awal yang vital untuk membongkar tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa ketentuan penyadapan tidak akan diatur dalam RKUHAP, melainkan dalam Undang-Undang khusus mengenai penyadapan. Proses penyusunan UU tersebut, menurutnya, akan melibatkan uji publik dan partisipasi masyarakat secara luas.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pakar hukum menegaskan bahwa kewenangan penyadapan seharusnya tetap diatur secara eksplisit dalam RKUHAP. Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menilai penyadapan merupakan tindakan paksa yang bersifat luar biasa dan menyangkut hak atas privasi, sehingga harus diatur dan diawasi secara ketat.
“Penyadapan tidak boleh dilakukan sembarangan, tetapi juga tidak boleh dipersulit ketika diperlukan dalam penegakan hukum. Koalisi masyarakat sipil tetap mengusulkan penyadapan tanpa izin dalam kondisi mendesak, dengan catatan tetap dimintakan persetujuan ke pengadilan segera setelahnya,” jelas Gina.
Gina juga menyoroti kurangnya pembatasan jenis tindak pidana yang dapat disadap dalam RKUHAP, yang menurutnya harus dibatasi hanya untuk kejahatan serius seperti korupsi.
Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman, menyarankan agar pengaturan penyadapan di RKUHAP bersifat umum, sehingga tidak bertentangan dengan undang-undang sektoral seperti UU KPK. “Harus ditegaskan bahwa untuk tindak pidana korupsi, kewenangan penyadapan KPK mengacu pada lex specialis, yaitu UU KPK,” ujarnya.
Peneliti ICW, Erma Nuzulia Syifa, menilai bahwa jika RKUHAP tetap mempertahankan penyadapan hanya pada tahap penyidikan, maka akan berdampak signifikan pada efektivitas kerja KPK. “Penyadapan menjadi alat utama KPK dalam memperoleh informasi real-time dan membongkar kejahatan yang tertutup,” tegasnya.
Erma menambahkan, proses birokratis dalam mendapatkan izin dari pengadilan negeri bisa membuka potensi kebocoran informasi dan gagalnya operasi tangkap tangan (OTT). “Paling pahit, keterlambatan izin bisa menyebabkan hilangnya barang bukti atau bocornya operasi,” ujar dia.
Bagus Pradana dari Transparency International Indonesia (TII) menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi telah tiga kali menegaskan legalitas kewenangan penyadapan KPK. Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003, 5/PUU‑VIII/2010, dan 71/PUU-XIX/2021 mengafirmasi bahwa penyadapan oleh KPK adalah konstitusional dan merupakan instrumen penting dalam pemberantasan korupsi.
“Semua putusan MK berlandaskan pada semangat efektivitas dan efisiensi penegakan hukum. Jika penyadapan dipersulit, maka kita mengorbankan senjata utama pemberantasan korupsi,” tegas Bagus.
Pembatasan wewenang penyadapan KPK dalam RKUHAP dinilai berisiko besar terhadap efektivitas pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sejumlah pakar dan organisasi masyarakat sipil merekomendasikan:
- Penyadapan tetap diatur dalam RKUHAP sebagai tindakan paksa penyidik.
- Pengecualian untuk KPK diatur secara eksplisit dengan mengacu pada UU KPK.
- Mekanisme pengawasan penyadapan diperkuat tanpa memperlambat penegakan hukum.
- Penyusunan RKUHAP dilakukan secara partisipatif dan tidak tergesa-gesa.
Dengan pengaturan yang proporsional dan akuntabel, upaya pembaruan hukum acara pidana tetap dapat berjalan tanpa mengorbankan efektivitas lembaga pemberantas korupsi seperti KPK.
Artikel terkait:
- KPK Geledah Kantor KONI Jatim, Diduga Terkait Korupsi Dana Hibah Pemprov
- KPK Dalami Dugaan Korupsi Dana Hibah Pokmas Jatim, Pemeriksaan Saksi Berlangsung di Pasuruan
- KPK Periksa Dirut Bank Jepara Artha Terkait Dugaan Kredit Fiktif, Lima Tersangka Telah Ditetapkan
- KPK Geledah Rumah Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Sita Flashdisk dan Buku Kecil
- Penulis: Tim Redaksi Moralita
Saat ini belum ada komentar